Strategi Pajak Prabowo : Pangkas PPh Badan dan Kejar Pengemplang Pajak Rp 300 T
Presiden terpilih Prabowo Subianto saat ini sudah memiliki sejumlah rencana untuk mengatur kebijakan perpajakan pada masa pemerintahannya, mulai dari rencana perubahan pajak penghasilan (PPh) badan, pajak pertambahan nilai (PPN), hingga mengejar pengemplang pajak.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengungkapkan rencana pemerintah Prabowo yang bakal memangkas pajak penghasilan (PPh) badan yang kini masih 22%. “PPh badan memang ingin kita turunkan supaya tidak terlalu memberatkan kepada masyarakat,” kata Drajad saat ditemui dalam acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (10/9).
PPh badan sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang dikenakan kepada badan usaha seperti perusahaan, lembaga, atau organisasi. Secara umum, PPh badan dibayarkan oleh entitas seperti perusahaan perseroan, firma, dan korporasi yang berstatus sebagai wajib pajak badan di suatu negara.
Meskipun begitu, hingga saat ini belum diputuskan persentase penurunan PPh badan. Sebab, keputusan tersebut juga akan mempertimbangkan kondisi fiskal atau kinerja penerimaan negara. “Belum (besaran tarif atau persentasenya). Karena kita memang menginginkan untuk suatu saat bisa menurunkan PPh badan. Tapi itu belum ada spesifik, ini baru harapan saja,” ujar Drajad.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo pernah mengungkapkan adanya potensi penurunan PPh badan pada masa pemerintahan Prabowo. Rencana ini akan mengacu penerapan di Singapura dan Hong Kong.
“Tarif pajak 22% hendaknya kita turun menjadi 20%, mendekati negara Singapura dan Hong Kong, yang tidak terlalu lama lagi,” kata Hashim dalam acara diskusi Kadin, Senin (7/10).
Adik kandung Prabowo itu meminta para pengusaha tidak perlu khawatir dan cemas. Karena pemerintahan Prabowo belum berencana menaikan pajak. “Tidak ada kenaikan pajak, tapi pemerintah ingin yang semua wajib pajak bayar pajak,” ujar Hashim.
Menimbang Kenaikan PPN Menjadi 12%
Pemerintahan Prabowo kemungkinan akan masih akan menimbang kepastian kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12%. Saat ini, kenaikan PPN dilakukan secara bertahap dan sudah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Secara pribadi sebagai ekonom, Drajad menyatakan ketidaksetujuannya dengan wacana pemerintah untuk menaikan PPN 12%. Hal itu karena kenaikan pajak itu bakal menggerus daya beli dan penerimaan negara.
“Itu saya sebenarnya kurang sepakat dengan PPN naik 12% karena saya khawatir efeknya justru akan menurunkan total pajak yang diterima,” kata Drajad.
Meski ada potensi kenaikan penerimaan pajak, namun asumsi itu terjadi jika banyak orang patuh membayar pajak. Namun dengan ketidakpastian ekonomi saat ini, kemungkinan penarikan PPN bakal sulit dipungut.
“Bagaimana kalau dengan kenaikan itu, orang yang bayarnya makin sedikit? Sama seperti barang kalau dijual lebih mahal, orang yang beli makin sedikit. Ini ujungnya penerimaan kita jeblok,” ujar Drajad.
Jika itu terjadi, maka kenaikan PPN menjadi 12% bakal menggerus pendapatan negara. Ditambah lagi, jumlah kelas menengah juga terus menyusut akibat ketidakpastian ekonomi nasional.
Selain itu, Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun sejak Mei hingga September 2024. Fenomena ini terjadi karena daya beli turun seiring meningkatnya jumlah pengangguran di Indonesia.
“Salah satu penyebab yang paling kuat karena tingginya angka setengah menganggur. Itu ada 2,41 juta orang setengah menganggur,” kata Drajad.
Menurut Drajad, setengah jumlah pengangguran tersebut memiliki daya beli rendah, dan ini membuat mereka terlempar dari kelompok kelas menengah. Kondisi akan semakin diperparah jika pemerintah menaikan PPN menjadi 12%.
“Kalau dipaksakan PPN 12%, saya khawatir, setengah jumlah orang yang menganggur akan makin banyak. Ujung-ujungnya orang-orang yang yang membeli barang makin sedikit. Konsumsi makin sedikit, ujung-ujungnya PPN-nya juga akan terganggu,” ujar Drajad.
Mengejar Pengemplang Pajak Rp 300 Triliun
Prabowo mengincar tambahan pendapatan pajak sebesar Rp 300 triliun dari berbagai sumber. Drajad mengungkapkan bahwa masih banyak penerimaan pajak yang belum terkumpul dari para pengusaha nakal dan sumber lain.
“Kebetulan kita menemukan dari pajak-pajak yang tidak terkumpulkan dan sumber-sumber yang belum tergali,” kata Drajad dalam acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (10/9).
Drajad mengatakan pajak-pajak yang belum terkumpulkan untuk menambah kebutuhan APBN pada 2025. Diketahui, alokasi belanja negara pada 2025 mencapai Rp 3.613,1 triliun, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.693,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun.
“Rencananya belanja negara di level Rp 3.600 triliun, tapi yang kita butuhkan itu minimal Rp 3.900 triliun. Jadi kurang Rp 300 triliun,” ujar Drajad.
Kekurangan pajak itu akan diperoleh dari tiga sumber. Pertama dari kasus-kasus pajak yang sudah inkrah. Dalam kasus tersebut terdapat wajib pajak yang kalah di pengadilan dan tidak bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) namun belum disetor ke negara.
Kedua, praktik kecurangan pajak dengan melakukan manipulasi atau transfer pricing. Ini juga akan menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang akan diincar Prabowo. Adapuan transfer pricing adalah penentuan harga yang sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa.
“Jadi sudah tidak ada lagi peluang mereka, Mahkamah Agung sudah memutuskan selesai, tapi mereka tidak bayar. Ada yang 10 tahun belum bayar, ada yang 15 tahun belum bayar. Itu jumlahnya juga sangat besar,” ujar Drajad.
Ketiga, Hashim Djojohadikusumo sebelumnya mengungkapkan ada sejumlah pengusaha nakal yang tidak melunasi pembayaran pajak. Oleh karen itu, pemerintah ingin yang semua pihak memenuhi kewajiban pajaknya.
Bahkan, Prabowo sudah memegang data yang mengungkap indikasi pengusaha nakal yang tak bayar pajak. Data tersebut diperoleh langsung dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang merupakan pengusaha dari industri Perkebunan kelapa sawit.
“Dikonfirmasi dari Kementerian LHK ada jutaan hektare kawasan hutan di okupasi liar oleh pengusaha kebun sawit nakal ternyata sudah diingatkan tapi sampai sekarang belum bayar,” kata Hashim, Senin (7/10).