Apindo Ingatkan Pemerintah Agar Penyelamatan Sritex Tak Picu PHK Massal
Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menyoroti langkah penyelamatan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) yang sudah diputus pailit. Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengingatkan agar langkah penyelamatan itu tak memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
"Jadi kami harapkan bahwa akan bisa diminimalisasi unsur-unsur seperti PHK yang besar seperti ini," kata Shinta saat ditemui di Gedung Kemenko Perekonomian, Rabu (30/10) malam.
Sebab, PHK massa; akan sangat memengaruhi kondisi ekonomi dan termasuk pekerja itu sendiri. Oleh karena itu, harus diupayakan berbagai langkah penyelamatan agar jumlah PHK tak meningkat.
"Makanya kenapa kita sekarang juga terus memberikan masukan dari industri padat karya untuk dan akhirnya menghindari penambahan kasus PHK," ujar Shinta.
Meski begitu, Shinta tetap menyerahkan keputusan kepada pemerintah berkaitan dengan penyelamatan Sritex. Terlebih, Shinta melihat selama ini Sritex merupakan perusahaan besar.
"Jadi ini bukan perusahaan yang bangun dari kemarin. Jadi kalau dari kontribusi ya ini sudah puluhan tahun," kata Shinta.
Pemerintah Tak Gunakan Dana Talangan
Pemerintah memastikan tidak akan menggunakan dana talangan atau anggaran pemerintah untuk menyelamatkan Sritex dari kebangkrutan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyebut dua opsi dalam penyelamatan Sritex, yaitu mediasi dan revisi kebijakan.
Opsi bailout tidak termasuk di dalamnya. "Saya menangkap di media seolah-olah pemerintah akan membantu Sritex. Rasanya tidak seperti itu," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu (30/10).
Tujuan penyelamatan tersebut untuk mencegah PHK karyawan pabrik tekstil. Untuk urusan hukum, pemerintah tidak akan ikut campur.
Untuk opsi pertama, yaitu mediasi. Pemerintah berharap proses mediasi antara manajemen Sritex dan kurator Pengadilan Negeri Semarang dapat dipercepat.
Lalu opsi kedua, pemerintah akan merevisi kebijakan yang melonggarkan barang impor ke dalam negeri. Aturan saat ini, telah membuka keran impor sehingga memukul industri tekstil domestik.
Kebijakan ini tertuang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang barang impor. Aturan ini terbit pada 17 Mei 2024 untuk mengatasi penumpukan puluhan ribu kontainer di Pelabuhan Tanjuk Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Jawa Timur.