Apakah Ekonomi RI Aman Jika Rupiah Tembus 17.000 per Dolar AS?

Ringkasan
- Harga minyak dunia naik 4% setelah Presiden AS Donald Trump menunda kebijakan tarif impor. Kenaikan harga minyak acuan Brent dan West Texas Intermediate (WTI) masing-masing sebesar US$ 2,66 dan US$ 2,77 per barel.
- Perang dagang AS-Cina memicu kekhawatiran resesi global dan menekan harga minyak. Meskipun permintaan minyak belum terpengaruh, kekhawatiran pelemahan permintaan di masa mendatang membutuhkan harga minyak yang lebih rendah.
- OPEC+ meningkatkan produksi minyak di tengah perang dagang dan kenaikan persediaan minyak mentah AS. Keputusan ini berpotensi mendorong pasar ke kondisi surplus dan membatasi kenaikan harga minyak.

Nilai tukar rupiah sempat bergerak mendekati 17.000 per dolar AS pada perdagangan pagi ini, Rabu (9/4). Kurs rupiah juga pernah menembus 17.000 per dolar AS di perdagangan pasar spot luar negeri saat libur Lebaran. Lantas apakah kurs rupiah di atas 17.000 per dolar AS aman bagi ekonomi Indonesia?
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan menilai, rupiah yang mungkin melemah ke level 17.000 per dolar AS masih dalam batas normal. "Rupiah dan pasar saham mengalami koreksi, tapi masih sehalan dengan negara lain sehingga tidak perlu panik berlebihan," ujar Luhut dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia di Jakarta, Selasa (8/4).
Ia menjelaskan, kurs rupiah yang melemah ini dapat mengkompensasi eksportir yang akan terdampak tarif Amerika Serikat. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS memang dapat menguntungkan eksportir karena berarti bisa menjual barang dengan harga yang lebih kompetitif.
Kepala Ekonom BCA David juga menilai, kurs rupiah di kisaran 16.500 hingga 17.000 per dolar AS masih sesuai dengan fundamentalnya. Namun dengan tekanan perang dagang, ia memperkirakan rupiah berpotensi melemah ke level 17.000 per dolar AS.
"Ada kemungkinan overshooting karena tekanan perang dagang," ujar David.
Overshooting adalah kondisi di mana mata uang mengalami pelemahan secara cepat. David menilai, pelemahan rupiah saat ini masih terkendali dibandingkan negara lain. Pelemahan rupiah sepanjang tahun ini masih berada di kisaran 4%.
Menurut dia, pelemahan rupiah dalam tahap wajar justru dapat berdampak positif terhadap ekspor. Di sisi lain, pelemahan rupiah juga akan berdampak pada biaya impor.
"Kurs 17.000 itu hanya nominal saja. Sebenarnya pelemahannya tak terlalu besar secara persentase. Yang terpenting adalah jangan ada kenaikan atau penurunan drastis. Supaya ekspor dan impor juga ada kepastian," ujar dia.
Kurs rupiah yang melemah juga dapat berdampak pada APBN. Pelemahan rupiah di satu sisi dapat mendongkrak penerimaan negara yang berasal dari ekspor. Namun, di sisi lain, pelemahan rupiah dapat berdampak kepada beban belanja pemerintah, seperti subsidi BBM dan pembayaran bungan utang.
Pemerintah mematok kurs rupiah dalam APBN 2025 sebesar 16.000 per dolar AS. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kondisi APBN tetap terjaga dan dikelola secara hati-hati.
Dari sisi penerimaan negara, menurut dia, harga beberapa komoditas andalan Indonesia seperti CPO dan tembaga membaik. Sedangkan harga minyak yang membebani APBN melalui subsidi BBM turun ke kisaran US$ 60 per barel karena meningkatnya risiko resesi ekonomi di Amerika Serikat.
"Harga minyak di APBN kita US$ 80 per barel, saat ini di kisaran US$ 60 per barel. Kami kira beban subsidi akan lebih rendah," kata dia.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian menilai, kurs rupiah saat ini sudah dalam kondisi overshoot atau terdepresiasi dengan cepat. Ia pun menyarankan masyarakat yang memegang dolar untuk menukarkan ke rupiah dan menginvestasikan ke aset lain yang lebih rendah.
Mengutip Bloomberg, kurs rupiah sempat mencapai 16.963 per dolar AS pada perdagangan pagi ini tetapi terus bergerak menguat mendekati penutupan perdagangan. Hingga pukul 14.50 WIB, kurs rupiah terpantau menguat 0,06% ke level 16.881 per dolar AS.