Luhut: Harga BBM Harus Naik Sebab Harga Minyak Dunia Masih Tinggi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan harga minyak mentah dunia masih tetap tinggi sejalan dengan konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung padam. Konflik kedua negara pecahan Uni Soviet itu berdampak pada krisis pangan dan energi global, termasuk Indonesia.
Luhut menambahkan, kondisi krisis energi dan pangan global diperparah dengan langkah Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang bakal mengurangi cadangan minyak mentah mereka sebanyak 3 juta barel.
"Harga minyak ini pun akan masih berfluktuasi di atas US$ 100 per barel. Seluruh dunia akan mengalami dan itu berat buat kita. Harga crude oil itu masih bisa naik ke depan," kata Luhut dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah pada Selasa (30/8).
Pada Selasa siang, harga minyak mentah global masih berada di atas US$ 95 per barel. Minyak mentah jenis west texas intermediate (WTI) berada di level US$ 96,66 per barel. Sementara minyak mentah Brent bertengger di harga US$ 104,22 per barel.
Meski harga minyak dunia sempat merosot, lanjut Luhut, tingginya harga minyak mentah dunia mendorong selisih atau disparitas antara harga keekonomian dengan harga jual eceran BBM bersubsidi Pertalite dan Solar.
"Ini memang gak ada pilihan, di seluruh dunia seperti ini. Sekarang ini sudah subsidi energi Rp 502 triliun. Subsidi ini bisa dikurangi dan dialihkan kepada kegiatan lain, itu akan lebih bagus. Pemerintah telah menyiapkan antisipasi kalau ada kenaikan harga BBM. Semua jalan dan dananya ada," kata Luhut.
Luhut menyampaikan, pemerintah sudah mengkaji dampak ikutan pada setiap simulasi kenaikkan harga Pertalite dan Solar sebesar Rp 500 per liter.
Kenaikan harga BBM bersubsidi dinilai dapat menyebabkan kenaikan biaya logistik pengangkutan barang yang berpotensi pada naiknya inflasi inti hingga volatile food pada semester II 2022. Luhut menekankan, kelancaran distribusi volatile food berperan besar dalam menjaga stabilitas harga.
"Soal logistik dan barang terutama akibat kenaikan harga Solar menjadi perhatian. Presiden sudah memberikan arahan bahwa semua yang bisa kita gunakan untuk membantu kelancaran angkutan. Ini adalah masalah dunia dan terjadi di Indonesia," jelas Luhut.
Dalam paparannya, Luhut mengatakan pemerintah telah menyiapkan sejumlah bantalan sosial untuk antisipasi kenaikan harga BBM berupa bantuan langsung tunai sejumlah Rp 12,4 triliun untuk 20,65 juta keluarga penerima manfaat.
Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan Rp 9,6 triliun untuk bantuan subsidi upah bagi 16 juta pekerja. Pemerintah juga menyiapkan dana senilai Rp 2,17 triliun untuk subsidi sektor transportasi ojek, angkutan umum dan nelayan.
Kebijakan ini bakal dieksekusi oleh masing-masing pemerintah daerah. Dana tersebut diperoleh dari anggaran daerah yang dipangkas 2% dari dana transfer umum (DTU) yang terdiri atas dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Subsidi BBM Harus Dialihkan Untuk Pendidikan dan Kesehatan
Pakar Ekonomi Faisal Basri merasa sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi kian kuat karena pemerintah bakal menyalurkan bantalan sosial. Bantuan sosial itu diharap bisa memasifkan roda perputaran ekonomi nasional.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini juga menyarankan kepada pemerintah untuk mulai berani menghapus subsidi BBM. Selain berdampak buruk pada beban negara, subsidi BBM juga berperan dalam peningkatan emisi karbon.
Menurutnya, subsidi BBM bisa dialihkan ke subsidi pendidikan dan kesehatan yang menyasar langsung ke masyarakat rentan.
"Idenya jangan memanfaatkan windfall PNBP dari seluruh komoditi yang kurang dari Rp 200 triliun itu untuk subsidi BBM. Jangan takut naikkan harga," kata Faisal, Senin (29/8).
Dia menjelaskan, anjloknya kuota BBM bersubsidi disebabkan karena pemerintah memberikan subsidi kepada masyarakat kelas menengah yang mayoritas memiliki mobil. Sejak Januari hingga Juli 2022, penjualan mobil naik 20% dibanding penjualan pada waktu yang sama di tahun sebelumnya.
"Adanya konsep kuota karena ada pengaturan harga. Jadi, yang bikin langka itu ya pemerintah sendiri," jelasnya. "Alokasi subsidi energi yang besar bisa dipindah ke sektor yang lebih produktif dan tepat sasaran."
Misalnya, pemerintah selama 6 bulan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada para pengemudi yang membeli suku cadang. Dia juga meminta penyaluran Pertalite dibatasi dengan digitalisasi. "Bebas PPN, lalu diskon jalan tol. Itu lebih efektif," tukas Faisal.