Revisi Aturan Pembatasan Penyaluran BBM Sudah di Meja Presiden Jokowi
Skema terbaru mengenai teknis pendistribusian BBM bersubsidi yang diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Direktur Bahan Bakar Minyak BPH Migas, Patuan Alfon, mengatakan salah satu poin utama yang disusun yakni penyesuian konsumen pengguna. Khususnya pada aturan yang lebih ketat mengatur kriteria calon penerima Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite dan Jenis BBM tertentu (JBT) Solar.
"Penyesuaian konsumen pengguna yang akan diatur sudah clear," kata Alfon dalam diskusi daring Tempo bertajuk Menemukan Jalan Subsidi BBM Tepat Sarasan pada Selasa (30/8).
Meski demikian ia mengaku tak tahu kapan revisi perpres itu diterbitkan. Dia hanya menjelaskan pemerintah selalu melihat beberapa aspek sebelum menetaskan sebuah kebijakan. Aspek-aspek tersebut yaitu sosial, politik, dan ekonomi. "Kenapa belum selesai? Pemerintah berpikir secara komprehensif," sambungnya.
Aspek ekonomi yang dimaksud yakni kondisi kekuatan keuangan negara yang berandil besar terhadap kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat. "Kalau diterbitkan sekarang berapa masyarakat yang rentan miskin menjadi miskin, lalu berapa inflasinya? Kekuatan keuangan negara memberikan bantalan seperti apa?" ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, staf khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyebut pemerintah sudah berencana untuk memperbaiki aturan subsidi BBM sejak lama.
Menurutnya, pemerintah memiliki segala sumber daya untuk menerapkan subsidi BBM selayaknya penyaluran bantuan sosial yang memanfaatkan data pribadi dan alamat penerima hak, salah satunya dengan memanfaatkan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial. Namun rencana itu terhalang oleh pandemi.
"Sudah menuju ke sana. Ketika mau perbaiki data, ada Pandemi Covid-19," kata Prastowo. "Ternyata ketahuan waktu Pandemi Covid-19 itu, DKTS tidak pernah diperbaharui. Orang sudah meninggal lima tahun lalu masih mendapatkan bantuan. Kita baru tahu bahwa data kita masih centang-perenang."
Prastowo menjelaskan, saat ini pemerintah sedang merancang skema penyaluran bantuan sosial dengan mengintegrasikan NIK dengan nomor NPWP. Dari sana, ujar Prastowo, dapat diketahui kelompok masyarakat yang berhak memperoleh subsidi maupun bantuan sosial lainnya.
"Kita harus punya nomor identitas tunggal, itu kuncinya. Kalau orang punya satu nomor identitas, pengawasan dan pelayanan mudah diberikan," jelasnya.
Menurut Prastowo, pemerintah melalui APBN 2022 masih sanggup untuk membayar subsidi dan kompensasi energi yang mencapai Rp 502,4 triliun hingga akhir tahun ini. Akan tetapi, kesanggupan tersebut hanya bisa bertahan jika harga minyak mentah berada di kisaran harga US$ 100 per barel.
Selain itu, besaran subsidi dan kompensasi juga bakal jebol jika konsumsi masyarakat melebihi kuota yang ditetapkan. Jika itu terjadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyebutkan, anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini bisa bengkak lagi menjadi Rp 698 triliun.
Ini dengan asumsi bahwa konsumsi BBM bersubsidi baik Pertalite dan Solar mengalami pola konsumsi pesat selama delapan bulan terakhir. Kemungkinan kuota Pertalite bengkak menjadi 29 juta kl dari alokasi 23,05 juta kilo liter (kl) dan solar menjadi 17,4 juta kl dari kuota hanya 15,1 juta kl.
Perkiraan penambahan Rp 195,6 triliun ini juga dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 105 per barrel, atau di atas asumsi dalam revisi APBN sebesar US$ 100 per barel. Selain itu, kurs rupiah juga sudah jauh di atas asumsi, yakni Rp 14.700 dari perkiraan Rp 14.450 per dolar AS.
"Potensi tambahan Rp 195,6 triliun akan ditagihkan tahun depan, ini yang akan mempersempit ruang tahun anggaran 2023," kata Sri Mulyani.