Berpotensi Kalah di WTO Soal Nikel, Apa Langkah Pemerintah Berikutnya?
Kementerian ESDM menyatakan bahwa pemerintah saat ini tengah fokus menyiapkan langkah-langkah banding terkait gugatan Uni Eropa (UE) atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Hal ini setelah Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan bahwa pembelaan pemerintah terkait kebijakan tersebut ditolak oleh WTO, yang artinya ada kemungkinan Indonesia diputus bersalah dan melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dijustifikasi dengan pasal XI.2 dan XX (d) GATT 1994.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemerintah belum berpikir untuk menerapkan kebijakan pajak ekspor atau bea keluar pada bijih nikel menyusul adanya putusan panel WTO yang menyebut Indonesia melanggar ketentuan terkait larangan ekspor bijih nikel.
Arifin menyebut, pemerintah sejauh ini baru akan merumuskan langkah-langkah untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Dia optimistis bahwa pemerintah bisa menuai hasil positif pada sesi banding sehingga Indonesia tak harus membuka kran ekspor bijih nikel.
"Kami belum kepikiran buat pajak ekspor bijih nikel. Kan belum putusan akhir ya, masih ada tahap-tahapnya," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (25/11).
Sembari mempersiapkan diri untuk mengajukan banding, pemerintah kini terus fokus untuk menjalankan proyek hilirisasi bijih nikel menjadi feronikel dan nickel pig iron atau NPI. Dia menyebut, serapan feronikel dan NPI di dalam negeri terbilang positif, terutama pada industri pembuatan baja.
"Kita juga punya customer, kita juga bisa harus memperhatikan. Kita perlu cari nilai tambah dari sini. Kita masih berusaha untuk mengoptimalkan, kita punya sumber daya alam untuk menjadi produk-produk itu," ujar Arifin.
Selain pada sektor manufaktur baja, keputusan WTO tersebut tak berdampak signifikan pada proyek hilirisasi bijih nikel di sektor pengembangan baterai kendaraan listrik.
Direktur Pengembangan Usaha ANTAM, Dolok Robert Silaban, mengatakan proyek hilirisasi bijih nikel menjadi baterai kendaraan listrik terus berlanjut di tengah sikap WTO yang menolak pembelaan yang diajukan oleh pemerintah soal kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Dolok menegaskan bahwa keberlangsungan proyek pengembangan baterai kendaraan listrik yang dijalankan oleh IBC bersama LG Energy Solution (LGES) dan Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL) terus berjalan ke arah yang positif.
"Hilirisasi nikel itu kan lebih ke arah NPI dan baterai ya, baterai ini bahan bakunya banyak nikel," kata Dolok saat ditemui di Gedung Nusantara I DPR pada Kamis (24/11).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa Indonesia masih punya kesempatan untuk membalikkan keadaan di tingkat banding. Meski begitu, ujar Bhima, pemerintah bakal menanggung beban ganda apabila kembali kalah.
Beban tersebut berupa wajib membayar ganti rugi terhadap kehilangan potensi impor komoditas nikel kepada negara-negara Uni Eropa (UE) sebagai penggugat. Selain itu, Indonesia juga wajib menggugurkan seluruh regulasi yang mengatur hilirisasi bijih nikel di dalam negeri.
"Kalau Indonesia mengajukan banding dan kemudian kalah lagi, maka keputusan yang dihasilkan bersifat final, tidak boleh banding lagi," kata Bhima saat ditemui di Hotel Ashley Jakarta pada Selasa (22/11).