Pengusaha Minta Formula HBA Diubah Sebelum BLU Batu Bara Berjalan
Pengusaha batu bara berharap agar pemerintah dapat mengubah formula pembentuk harga batu bara acuan atau HBA yang berlaku saat ini sebelum dimulainya pungutan ekspor oleh entitas Badan Layanan Umum (BLU) batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, mengatakan bahwa hitung-hitungan formula HBA yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM saat ini tak lagi relevan seiring adanya disparitas indeks harga batu bara yang menjadi acuan dalam pembentukan HBA.
"Sebelum BLU diberlakukan, HBA-nya ini disesuaikan dulu. Jika tidak, beban pelaku usaha dari tarif BLU jadi jauh lebih tinggi lagi," kata Hendra kepada Katadata.co.id melalui sambungan telepon pada Kamis (5/1).
Angka HBA sendiri dihitung dari rata-rata index bulanan Globalcoal Newcastle Index (GCNC), Newcastle Export Index (NEX), indeks Platts dan Indonesia Coal Index (ICI) pada bulan sebelumya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kg GAR, total moisture 8%, total sulphur 0,8%, dan ash 15%.
HBA digunakan sebagai patokan dalam jual beli komoditas batu bara spot selama 1 bulan pada titik serah penjualan secara free on board di atas kapal pengangkut. Simak perkembangan HBA pada databoks berikut:
Menurut Hendra, indeks harga batu bara Australia yang mengacu pada GCNC dan NEX dengan nilai yang lebih tinggi bertolak belakang dengan tingkat harga batu bata Indonesia yang lebih condong ke Indeks Platts dan ICI.
Harga batu bara Australia yang memiliki kalori tinggi cendurung punya harga yang mahal hingga lebih dari US$ 300 per ton. Sementara harga batu bara indeks Platts dan ICI relatif berada di US$ 250 per ton.
"Sejak dua tahun terakhir selisihnya makin jauh, istilahnya decuopling. Padahal penambang Indonesia yang menjual batu bara sebagaian besar menggunakan indeks ICI, tapi waktu membayar kewajiban ke negara lebih tinggi karena HBA belakangan ini diangka US$ 300," ujar Hendra.
Kondisi tersebut membuat para pelaku usaha mesti membayar kewajiban kepada negara dengan angka yang lebih tinggi dari harga patokan batu bara (HPB) dalam perdagangan komoditas di Indonesia. "Itu yang menjadi kekhawatiran sehingga kenaikan harga komoditas yang terjadi saat ini tidak bisa dimaksimalkan," kata Hendra.
Dengan demikian, para pelaku usaha berharap pemerintah dapat menyesuaikan formula pembentuk HBA dengan cara mengubah bobot hitungan dari keempat indeks.
Menurut Hendra, persentase bobot indeks yang mencerminkan harga batu bara Indonesia seperti ICI dan Platts bisa ditambah, sementara bobot indeks harga batu bara GCNC dan NEX bisa diturunkan. "Formula HBA yang 4 itu bisa diseimbangkan. Sekarang masing-masing bobotnya 25%, padahal kan market sudah berbeda," ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) Januari 2023 menjadi US$ 305,21 per ton. Angka tersebut naik 8,43% atau US$ 23,73 per ton dari level harga Desember 2022 lalu senilai US$ 281,48 per ton.
Kenaikan HBA dipicu gangguan distribusi batu bara di Australia. Australia yang merupakan salah satu pemasok batu bara global mengalami cuaca buruk.
Faktor lain yang mengerek kenaikan HBA adalah kenaikan index bulanan Globalcoal Newcastle Index (GCNC) sebesar 16,23% dan Newcastle Export Index (NEX) sebesar 17,88%, meskipun index Platts dan Indonesia Coal Index (ICI) turun sebesar masing-masing 8,81% dan 3,25%.
Pada 2022 lalu, HBA sempat menyentuh nilai tertinggi pada bulan Oktober, dimana HBA menguat hingga menyentuh level US$ 330,97 per ton. Kondisi geopolitik Eropa imbas konflik Rusia - Ukraina yang menyebabkan fluktuasi harga gas Eropa menjadi faktor pengerek utama pada saat itu.