Biodiesel Kena Bea Masuk Eropa, Indonesia Dorong Program B30 dan B50
Uni Eropa resmi menerapkan bea masuk antisubsidi untuk produk biodiesel Indonesia sebesar 8-18%. Kebijakan ini ditandatangani oleh Presiden Komisi Uni Eropa Jean Claude Juncker di Brussels, Belgia pada Senin (12/8) dan berlaku efektif mulai Selasa (13/8).
Beberapa produsen biodiesel yang dikenai bea masuk adalah PT Ciliandra Perkasa 8%, Musim Mas Group terkena 16,3%, Permata Group terkena 18%, Wilmar Group terkena 15,7%, sedangkan perusahaan lainnya dikenai tarif 18%. Perusahaan biodiesel Indonesia yang keberatan terhadap kebijakan tersebut bisa memberikan jawaban tertulis dalam waktu 15 hari setelah regulasi berjalan. Komisi Uni Eropa akan merespons dalam waktu lima hari tetapi tidak ada jaminan apakah keberatan tersebut akan diterima atau ditolak.
Salah satu strategi pemerintah untuk menghadapi masalah ini adalah dengan mendorong konsumsi biodiesel di pasar domestik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) berbasis biodiesel meningkat tahun depan.
Ia menargetkan penggunaan biodiesel B30 atau bahan bakar hasil campuran biodiesel 30% dan solar 70% bisa diterapkan mulai Januari 2020. Pada akhir 2020, Indonesia diharapkan sudah bisa menggunakan B50 alias bahan bakar dengan komposisi 50% biodiesel dan 50% solar.
Langkah ini diambil pemerintah seiring suksesnya program B20 yang menekan impor solar bulanan sebesar 45% pada periode Januari-Juli 2019 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Jokowi menyebutkan, penurunan impor solar itu berhasil menghemat pengeluaran untuk impor minyak sekitar US$ 5,5 miliar dalam setahun.
(Baca: Biodiesel RI Resmi Kena Sanksi, Pemerintah Pastikan Balas Uni Eropa)
Program Mandatori Biodiesel
Sebenarnya penerapan campuran minyak nabati jenis kelapa sawit untuk dipakai sebagai bahan bakar telah dikembangkan sejak lama di Indonesia, penemuannya pun telah berhasil mengolah B20, B30, B50, dan B100 (green diesel).
Selain dapat menjadi solusi atas melimpahnya produksi CPO, bodiesel juga unggul dibanding bahan bakar fosil karena memiliki efek pencemaran yang lebih rendah. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), biodiesel memiliki emisi rendah karena bersifat degradable (mudah terurai), sehingga pada tahap selanjutnya mampu mengurangi efek gas rumah kaca. Selain itu, hadirnya biodiesel sebagai energi alternatif ikut menekan ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM, Muhammad Rizwi Jinalisaf Hisjam, menjelaskan perbedaan antara B20, B30, dan B100, "Biodiesel B100 ini ke depannya bukan artinya seluruhnya dari bahan bakar nabati (BBN), tapi bahan bakunya menjadi bahan baku refinery. Jadi, solar dicampur langsung di bahan bakunya," ujar Rizwi dalam siaran pers, Selasa (9/7).
B20 dan B30 merupakan hasil pencampuran dua produk akhir, yaitu fatty acid methyl ester (FAME) dicampur BBM solar. Adapun B100 bahan bakunya dicampur dengan minyak mentah dan diproses di kilang (refinery).
Program mandatori B20 dilaksanakan sejak Januari 2016 berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2015. Sektor-sektor yang wajib menggunakan B20 adalah usaha mikro, usaha perikanan, pertanian, transportasi dan pelayanan umum (Public Service Obligation/PSO), transportasi non-PSO, serta industri dan komersial. Sejak 1 September 2018, program mandatori B20 diperluas ke semua sektor.
Biodiesel B20 dinilai memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan bahan bakar solar. "Nilai kalori dari BBN ini lebih rendah dari BBM, tapi secara performance bahan bakar lebih bagus. Secara umum, manfaatnya lebih banyak," jelas Rizwi.
Program B30 diluncurkan Menteri ESDM Ignatius Jonan pada 13 Juni 2019. Kendaraan yang digunakan dalam uji coba ini adalah tiga unit truk dan delapan unit kendaraan penumpang.
Program ini pada tahap awal diprediksi mampu menyerap biodiesel sebesar 30 ribu-50 ribu kiloliter. Menurut Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDPKS), penyerapan crude palm oil (CPO) untuk program biodiesel B30 bisa mencapai 9 juta ton, ini belum menghitung ekspor.
(Baca: Pacu Penyerapan Minyak Sawit, Jokowi Minta B50 Diterapkan Tahun Depan)
Uji Coba Biodiesel B50 dan B100
Penerapan B50 sebelumnya diperkirakan bakal terwujud pada 2025. Bahan bakar ini sudah diuji coba oleh lembaga penelitian di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN), yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
PPKS menggunakan dua mobil penumpang berbahan bakar biodiesel untuk menempuh rute Jakarta-Medan-Jakarta sejauh 5.000 km pada Januari 2019.
“B50 baru kami coba dan hasilnya aman. Memang perlu variabel-variabel lain yang harus diuji lebih lanjut, tapi konsumsinya lebih efisien dibandingkan solar, emisi keluarannya juga lebih rendah,” kata Komisaris Holding PTPN Muhammad Syakir, di Jakarta, pada 31 Januari 2019.
Sebelumnya, PPKS juga menguji coba B20 hingga B100 dengan rute Bogor-Malang. Menurut Syakir, penggunaan biodiesel cukup menjanjikan meskipun harganya masih lebih mahal dibandingkan solar. Namun, penggunaan biodiesel mampu menekan impor BBM dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
Bagaimana dengan produk B100? Kementerian Pertanian pada 15 April lalu telah melakukan uji coba terhadap biodiesel B100. Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Badan Litbang Kementan menggunakan B100 pada 50 kendaraan yang terdiri atas mobil dan traktor.
Hasilnya positif. Kendaraan tersebut mampu melaju hingga jarak 13,1 kilometer dengan satu liter B100. Jika menggunakan satu liter BBM jenis solar, kendaraan tersebut hanya mampu melaju hingga 9 kilometer saja.
Biodiesel yang berasal dari CPO bukan satu-satunya jenis BBN. Ada juga BBN jenis lainnya, yaitu bioetanol. Jika Biodiesel dikombinasikan dengan solar, bioetanol dicampur dengan bensin. Bioetanol diperoleh dari pengolahan tumbuh-tumbuhan seperti tebu, singkong, ubi, dan jagung.
(Baca: Darmin Sebut Swasta dan Pertamina Komitmen Investasi B100)
Penulis: Abdul Azis Said (Magang)