Kontroversi Prakerja dan Digitalisasi Layanan Publik

Metta Dharmasaputra
18 Juli 2020, 11:07
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina
Petugas mendampingi warga yang melakukan pendaftaran calon peserta Kartu Prakerja di LTSA-UPT P2TK di Surabaya, Jawa Timur, Senin (13/4/2020). Pemprov Jawa Timur membuka 56 posko yang tersebar di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur untuk memberikan pelayanan dan pendampingan kepada masyarakat yang terdampak COVID-19 dalam mendaftar program Kartu Prakerja.

“Kalau saja tidak ada Covid, Kartu Prakerja ini sangat seksi.” Begitu lontaran Ganjar Pranowo dalam diskusi yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama). Pernyataan Gubernur Jawa Tengah ini benar adanya, jika mengacu pada desain awal kartu Prakerja yang dimaksudkan untuk memberikan insentif pelatihan kepada para pencari kerja.

Persoalannya, tiba-tiba kita dihadapkan pada badai pandemi Covid-19. Pemerintah didesak harus segera mengucurkan dana jaring pengaman sosial kepada masyarakat yang terdampak. Termasuk mereka yang terkena PHK, dirumahkan atau sedang menganggur.

Mereka bukanlah bagian dari 20 juta keluarga kelompok masyarakat miskin terbawah yang selama ini sudah menerima berbagai insentif, seperti Kartu Sembako dan Program Keluarga Harapan. Bukan pula kelompok sembilan juta keluarga hampir miskin di atasnya yang akan diberikan bantuan sosial (bansos) tunai lantaran terpukul pandemi corona.

(Baca: Pemerintah Evaluasi Tokopedia-Ruangguru Sebelum Buka Prakerja Tahap 4)

Mereka—kelompok pekerja dan pencari kerja ini—berada di atas kedua kelompok miskin itu yang belum ter-cover oleh skema bantuan apa pun. Di tengah situasi sulit ini, Kartu Prakerja kemudian dijadikan “jalan pintas” untuk menyalurkan bansos. Di sini persoalan muncul, karena memang bukan desain awalnya.

Desain Prakerja yang semula berupa dana pelatihan offline dan online senilai Rp 5 juta, plus insentif Rp 500 ribu, diubah. Dana pelatihan dipangkas tinggal Rp 1 juta dan hanya berbentuk online. Sedangkan insentif diperbesar menjadi Rp 2,4 juta sebagai Bansos tunai.

Jumlah target penerima pun dinaikkan dari dua juta menjadi 5,6 juta orang hingga akhir tahun. Konsekuensinya, anggarannya membengkak dari Rp 10 triliun menjadi dua kali lipatnya.

kartu prakerja
Infografik Kartu Prakerja. (Katadata)

Terobosan Layanan Publik

Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Tim Manajemen Pelaksana atau Project Management Office (PMO) yang baru dibentuk dua pekan setelah pengumuman pasien Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret lalu, secara cepat harus mengubah Prakerja menjadi semi bansos tunai.

Berharap sempurna tentu saja sebuah kemustahilan. Program ini ibarat bayi yang lahir prematur akibat terinfeksi Covid, tapi dipaksa langsung berlari. Bolong di sana-sini terjadi. Kontroversi pun merebak. Meski begitu, sesungguhnya ada sejumah nilai positif yang bisa dipetik dari program ini, baik dari sisi layanan publik maupun dari azas manfaat.

Pertama, program ini merupakan terobosan layanan publik yang sepenuhnya dilakukan dalam ekosistem digital. Mulai dari pendaftaran peserta, verifikasi data, penyedian materi pelatihan, pemilihan materi pelatihan online oleh peserta, hingga penyaluran langsung dana APBN melalui sistem pembayaran digital kepada para penerima Kartu Prakerja.

Dengan sistem ini, maka keseluruhan proses menjadi lebih efisien, cepat dan berdaya jangkau luas. Bayangkan saja, tim PMO hanya beranggotakan sekitar 40 orang, padahal dana yang dikelola mencapai Rp 20 triliun. Dengan sistem digital ini, keterbatasan gerak di masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pun dapat diatasi.

(Baca: Ulasan dan Rating Bisa Ganjal Pencairan Insentif Kartu Prakerja)

Kedua, dengan sistem digital penuh ini maka potensi korupsi atau kebocoran dana menjadi kian tertutup. Berhubung, dana bansos langsung diterima oleh si penerima manfaat. Aliran dana pun semua tercatat dan termonitor dalam ekosistem digital.

Pola ini berbeda dengan sistem reguler. Dana APBN disalurkan secara berjenjang ke sejumlah lembaga/kementerian, lalu ke lembaga pelatihan yang ditunjuk, dan barulah manfaat diterima oleh peserta pelatihan. Kemungkinan terjadinya kebocoran dana lebih besar, apalagi jika tidak menggunakan non-cash payment system.

Ketiga, Prakerja merupakan program penyaluran dana jaring pengaman sosial pertama di Indonesia yang berdasarkan permintaan (on demand) dengan cara mendaftar, seperti lazimnya diterapkan di negara-negara maju. Bukan berdasarkan daftar jatah yang dibuat pemerintah.

Dengan mekanisme ini, penyaluran dana Bansos diharapkan lebih tepat sasaran. Mengingat, ketersediaan data yang akurat hingga kini masih menjadi problem besar di Indonesia. Seperti kita tahu, data Nomor Induk Kependudukan (NIK) pun hingga kini masih jauh dari sempurna.

Gerbang Ekonomi Digital

Keempat, dari sisi manfaat, Prakerja memberikan modal penting bagi kaum muda Indonesia untuk memasuki era digital. Di tengah kontroversi yang ada, program ini disambut antusias, khususnya dari kalangan muda.

Begitu dibuka, dua juta orang langsung mendaftar. Berdasarkan data terakhir dari tim PMO, pendaftar bahkan kini membludak menjadi 11,2 juta—jauh di atas target 5,6 juta hingga akhir tahun—yang berasal dari 514 kabupaten di seluruh Indonesia.

Ada sejumlah protes yang menyuarakan banyak pendaftar belum berhasil menerima kartu Prakerja. Ini bukan hal aneh sesungguhnya, karena memang baru 680 ribu orang yang telah menerima kartu Prakerja.

(Baca: Ganjar Pantau Empat Masalah Program Kartu Prakerja di Jateng)

Penambahan jumlah peserta kian tersendat, setelah keluar rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan sementara program ini dan melakukan sejumlah perbaikan. Pembukaan gelombang keempat baru akan dilakukan akhir Juli nanti.

Meski begitu, yang menarik, hampir 90% penerima Kartu Prakerja adalah kelompok muda berusia 18-34 tahun dan berpendidikan SMA ke atas. Lebih dari 80% di antaranya dalam kondisi tidak bekerja.

Jika proses ini berhasil baik, mudah-mudahan akan tumbuh kelompok pekerja muda yang lebih memiliki keahlian dan terhubung dalam ekosistem digital. Fakta ini penting mengingat Indonesia menghadapi puncak bonus demografi pada 2030, yang ditandai dengan semakin besarnya jumlah penduduk usia muda produktif.

Inklusivitas anak muda dalam ekosistem digital akan menjadi modal mereka ke depan. Keahlian dan keterhubungan kelompok muda dengan ekosistem digital ini pun pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kualitas UMKM Indonesia.

Perlu diingat, riset Google-Temasek menyatakan bahwa ekonomi internet Indonesia merupakan yang terbesar dan tumbuh tercepat di kawasan Asia Tenggara. Diperkirakan nilainya akan mencapai US$ 133 miliar (hampir Rp 2000 triliun) pada 2025. Anak muda Indonesia perlu dibekali agar tak ketinggalan kereta.

(Baca: Jokowi Teken Perpres Baru, Penerima Kartu Prakerja Palsu Bisa Dipidana)

Transfer Tunai Bersyarat

Kelima, sebagai alat dadakan semi bansos tunai di masa pandemi, Prakerja terbilang cukup efektif. Dari data LinkAja, salah satu penyedia sistem pembayaran digital milik negara, diketahui bahwa sebagian besar dana kartu Prakerja digunakan untuk belanja kebutuhan hidup sehari-hari.

Sekitar 42% dana yang disalurkan, telah ditransfer atau ditarik tunai oleh peserta Prakerja untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Hampir 20% untuk membayar listrik, air dan Pajak Bumi-Bangunan (PBB). Lalu sekitar 28% untuk pembelian pulsa dan data, yang bisa digunakan untuk pelatihan online atau pun berusaha.

Menanggapi tuntutan agar dana kartu Prakerja sepenuhnya dijadikan bansos tunai, rasanya sulit dilakukan. Jika mau begitu, perlu dibuat program berbeda dengan payung hukum yang baru. Persoalannya, di tengah situasi darurat, kita tak punya kemewahan waktu untuk berlama-lama mempersiapkannya.

Beda halnya ketika pada 2005, pemerintahan Presiden Yudhoyono punya keleluasaan waktu untuk merancang Bantuan Langsung Tunai (BLT) terlebih dulu sebelum kenaikan harga BBM dilakukan. Selama enam bulan BPS pun melakukan survei untuk memetakan para calon penerima manfaat, dan mempersiapkan penyalurannya lewat PT Pos.

Perlu juga dilihat bahwa dana Bansos Prakerja senilai Rp 2,4 juta per orang ini sesungguhnya sudah lebih besar dibanding Bansos untuk 9 juta keluarga nyaris miskin, yang hanya dialokasikan Rp 600 ribu selama tiga bulan. Meski begitu, sebagai bentuk kompromi, bisa saja alokasi dana untuk pelatihan lebih diperkecil.

(Baca: Pemerintah Setop Penjualan 100 Paket Pelatihan Kartu Prakerja)

Jika menilik pengalaman di Brasil, Kartu Prakerja “hybrid” Bansos-Pelatihan Online ini punya kemiripan dengan program Bolsa Familia. Program yang dilansir oleh Presiden Lula Da Silva pada 2003 ini berbentuk transfer tunai bersyarat (conditional cash transfer).

Setiap keluarga penerima dana ini diwajibkan membelanjakannya untuk pendidikan anak-anaknya dan vaksin. Jika tak dipenuhi, maka pemberian dana insentif tersebut dibatalkan. Tercatat sebanyak 11 juta keluarga menerima manfaat kartu Bolsa Familia. Hasilnya, dalam kurun dua tahun kemiskinan di Negeri Samba itu turun 28 persen.

Kartu Prakerja di masa Covid ini boleh dibilang memiliki pola yang sama sebagai conditional cash transfer. Sebab, kenyataannya ada dana Bansos tunai yang ditransfer senilai Rp 2,4 juta, dengan syarat para peserta juga harus membelanjakan dana Rp 1 juta untuk pelatihan online.

PENDAFTARAN KARTU PRAKERJA GELOMBANG KEDUA
Pendaftaran Kartu Prakerja.  (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.)

Standar Kualitas Pelatihan

Keenam, sistem Prakerja berbasis online memberi pilihan jenis pelatihan yang variatif, serta fleksibilitas waktu dan tempat. Memang muncul banyak pertanyaan, mengapa harus berbayar ketika pelatihan yang gratis terserak di jagad maya?

Sebetulnya tak ada yang aneh juga tentang hal ini. Ambil contoh, training pembelajaran bahasa Inggris atau tryout soal tes masuk Perguruan Tinggi. Meski tersedia yang gratis, tetap banyak juga yang berbayar dan diminati, karena ada perbedaan kualitas atau fasilitas di antara keduanya.

Tantangannya memang ada pada proses kurasi penyedia latihan agar memenuhi standar kualitas yang memadai. Dalam hal ini, harus diakui ada sejumlah kekurangan yang perlu diperbaiki oleh tim PMO dalam melakukan seleksi penyedia pelatihan.

Namun demikian, melihat umur PMO yang masih sangat pendek dan masa persiapan yang sangat singkat, berbagai kekurangan ini sangat bisa dipahami. Apalagi animo publik sangat tinggi.

Perlu juga dicatat, tidak semua penyedia pelatihan di program Prakerja ini berkualifikasi buruk. Banyak juga modul-modul pelatihan yang disediakan oleh lembaga yang kredibel, seperti halnya Tempo Institute, TechinAsia dan Databott.

(Baca: Banyak Pekerja Lepas Gabung di Platform Digital pada Masa Pandemi)

Ketujuh, melalui penyediaan materi pelatihan via platform lapak digital (marketplace), penyebaran modul pelatihan bisa dilakukan dengan sangat masif, cepat dan mudah dijangkau.

Benar bahwa masih banyak juga yang belum terbiasa melakukannya. Untuk mengatasi hal ini program pendampingan atau pendaftaran kolektif, seperti halnya pembuatan rekening bank secara kolektif untuk program Bantuan Pangan Non-Tunai, bisa menjadi solusi.

Sempat pula ramai diperdebatkan soal keabsahan kerjasama PMO dengan delapan lapak digital tersebut. Titik apinya ada pada persepsi bahwa mereka ditunjuk secara eksklusif. Padahal, menurut Direktur Eksekutif PMO Denni Purbasari, kesempatan dibuka seluas-luasnya. Tidak hanya kepada delapan platform digital tersebut dan sekitar 280 penyedia jasa pelatihan.

Badan ini hanyalah melakukan verifikasi, bukan melakukan penunjukan. Karena itu, jumlah platform digital dan penyedia training pun bisa terus bertambah. Sepanjang memenuhi syarat, semua bisa ikut serta.

(Baca: Peserta Kartu Prakerja Diperluas, Pemerintah Bakal Masukkan Wirausaha)

Berdasarkan pola itu, maka perjanjian kerjasama PMO dan para platform digital pun berbeda dengan mekanisme penunjukan via tender. Hal ini sudah ditegaskan oleh Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam pertemuan di Kantor Staf Presiden, yang juga dihadiri Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 5 Mei lalu.

Di forum itu disimpulkan bahwa pengadaan kerjasama PMO dan platform digital tidak termasuk ke dalam ruang lingkup Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018. Ini dikarenakan komponen biaya pelatihan disalurkan langsung kepada peserta Program Kartu Prakerja. Merekalah yang akan memilih latihan yang diinginkan.

Penegasan serupa dicantumkah dalam pasal 31A Perpres Nomor 76 Tahun 2020 yang baru dikeluarkan pada 7 Juli lalu. Di situ ditegaskan bahwa pemilihan platform digital dan lembaga pelatihan tidak termasuk dalam lingkup pengaturan pengadaan barang/jasa pemerintah, meski tetap memperhatikan tujuan, prinsip, dan etika pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan adanya penegasan itu, mudah-mudahan tak ada lagi keriuhan soal kerjasama PMO dan platform digital. Bahwa ada kekurangan di sana-sini adalah hal jamak dalam sebuah inovasi. Tinggal bagaimana kita memandangnya. Selalu melihatnya seperti setengah gelas yang masih kosong, atau justru bersyukur sudah separuhnya terisi air.

**

Baca juga Opini terkait sebelumnya: Dilema Kebijakan Kartu Prakerja

Metta Dharmasaputra
Metta Dharmasaputra
Co-founder, CEO Katadata

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...