Undang-Undang Migas Mengarah ke Mana?
Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Migas tidak masuk dalam Prolegnas, namun RUU Migas masih berpeluang untuk dibahas di DPR dan diselesaikan tahun ini. Karena, RUU Migas bukan rancangan baru. RUU Migas adalah undang-undang ‘revisi’ dengan tambahan dan penyesuaian yang mengikuti putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 36/PUU-X/201.
Putusan MK intinya ‘membubarkan’ BP Migas karena dinilai inkonstitusional. BP Migas, badan hukum milik negara yang mewakili pemerintah yang menjadi manajemen operasi pada kegiatan usaha hulu migas, secara kelembagaan dinyatakan tidak sejalan dengan UUD 1945. Dianggap tidak mungkin tata kelola dengan model BP Migas mengimplemntasikan Pasal 33 UUD 1945. Bahkan pembentukan BP Migas dianggap mendistorsi.
Sejalan dengan amar Putusan MK, institusi pengganti BP Migas dilaksanakan oleh pemerintah, c.q. kementerian terkait. Sehingga dibuat Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013, membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Lembaga ini bersifat sementara dan akan digantikan dengan institusi baru saat UU Migas baru disahkan.
Memang tidak terlalu ideal. Karena SKK Migas semestinya memiliki karakteristik bisnis. Namun karena statusnya sebagai bagian dari pemerintah, sehingga wajib mengikuti pola kerja, cara kerja, dan tradisi kepemerintah yang relatif sarat dengan ketentuan, aturan, dan pekerjaan adminstrasi.
Meskipun demikian, segala upaya dilakukan dengan mengatasnamakan profesionalisme. Layaknya perusahaan yang memiliki intensi bisnis, SKK Migas mengeliat dan beraksi seperti korporasi. Meskipun, tetap saja geraknya terbatas.
Sebagai contoh dalam penganggaran dan pelaksanaan kegiatannya, SKK Migas menggunakan APBN. SKK Migas harus tunduk dan mengikuti proses dan diatur APBN. Bandingkan saja dengan BUMN seperti PT. Pertamina yang relatif lincah, yang semestinya pekerjaan di lapangan juga dieksekusi lebih cepat.
Pilihan BUMN
Lembaga pengelola kegiatan usaha hulu migas ke depan tidak ada pilihan selain mengacu pada putusan MK. Pertimbangan hakim poin 3.12 menyatakan bahwa: “sepanjang negara memiliki kemampuan modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung maka bisa dipastikan seluruh hasil dan keuntungan bisnis menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat.”
Lalu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan langsung adalah pengelolaan oleh negara melalui badan usaha milik negara (BUMN).
Pertimbangan hakim ini memberikan garis batas pilihan. SKK Migas yang bersifat sementara harus dipermanenkan dan hendaknya dalam undang-undang migas nantinya dinyatakan dengan tegas bahwa bentuknya adalah BUMN.
Pertanyannya, BUMN yang bagaimana? Sedikitnya kemungkinannya ada tiga: (1) DPR dan pemerintah membuat BUMN Khusus Migas. (2) DPR dan pemerintah tidak perlu membuat BUMN baru, cukup menggabungkan SKK Migas dengan BUMN yang sudah ada, yaitu PT. Pertamina. (3) Fungsi dan kewenangan mengelola WK Migas dibagi: sebagian dilakukan Pertamina dengan memanfaatkan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) dan sebagian dilakukan BUMN baru.
Pilihan pertama, yaitu membentuk BUMN Khusus Migas nampaknya peralihan dari SKK Migas ke lembaga baru relatif mudah, relatif lebih smooth. Seolah SKK Migas hanya ‘ganti baju’.
Fungsi, tugas dan kewenangan sama, pindah dari SKK Migas ke BUMN Khusus Migas. Hanya ada tambahan kewajiban mengelola petroleum fund. Yaitu dana yang disisihkan dari penerimaan negara migas, pada prosentase tertentu, yang nantinya menjadi ‘modal’ bagi badan usaha berbisnis layaknya perusahaan minyak.
Pembentukan BUMN khusus migas relatif dapat menjamin keberlangsungan kegiatan hulu migas dengan tetap berpegang pada Renstra IOG 4.0 yang digagas SKK Migas dan menjadi strategi pemerintah. Ada kesinambungan kegiatan untuk mencapai long term plan satu juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) tahun 2030.
Pilihan kedua, yaitu menggabungkan peran pengelola, pengendali, dan pengawas WK migas ke Pertamina. Sejatinya, tata kelola hulu migas Indonesia kembali ke Undang-Undang Nomor 8/1970.
Sebagian pengamat yang mendukung pada pilihan ini berpendapat bahwa situasi dahulu dan sekarang berbeda. Terutama berkaitan dengan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada ‘jaman’ itu memang Pertamina seolah terperangkap pada ‘permainan’ politik. Artinya bukan model tata kelola yang menciptakan KKN. Tetapi KKN memang sudah ada dan merasuk lebih mudah dengan model tata kelola hulu migas saat itu.
Atau dengan kata lain, pada waktu itu boleh dibilang tidak ada institusi pemerintah terkontaminasi KKN. Jadi, bukan malah model tata kelolanya. Berkaca pada Petronas, yang menggunakan pola yang sama, toh tetap berjaya dan semakin jaya.
Sementara sebagian yang tidak setuju mengkawatirkan bahwa kewenangan yang berlebihan masih tetap berpotensi memicu KKN. Stigma KKN di zaman itu seolah sulit dihilangkan.
Pertamina saat ini boleh dibilang sudah bangkit dari keterpurukan. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi di awal reformasi. Penggabungan dengan SKK Migas dikawatirkan akan mengubah fokus dan orientasi Pertamina yang bisa saja akan berpengaruh pada kinerja.
Ketiga, PHE dan BUMN khusus migas berbagi tanggung jawab dan kewenangan. Kinerja WK Migas yang dioperasikan oleh Pertamina, seluruhnya dikoordinasikan dan menjadi tanggung jawab PHE. Termasuk pencapaian kinerjanya harus dipastikan sesuai dengan tujuan Pemerintah.
PHE bertindak layaknya SKK Migas saat ini, melakukan review terhadap anggaran tahunan dan meyetujui program kerja tahunan. PHE jua berperan mengendalikan dan mengawasi WK Migas Pertamina.
Kelemahannya, dengan hilangnya peran lembaga seperti SKK Migas yang mewakili kepentingan pemerintah, tidak ada yang menjamin, memastikan, dan mengarahkan supaya PHE sejalan tujuan pemerintah.
PHE memang bisa melakukan, namun akan rancu dan conflicting dengan tujuan PHE sebagai badan usaha yang menghasilkan keuntungan bagi Pertamina. Sedangkan SKK Migas tidak ada kepentingan lain, selain satu-satunya untuk kepentingan negara. SKK Migas saat ini bukan organisasi profit.
Pilihan ketiga akan mengalokasikan pengawasan WK Migas non-Pertamina ke BUMN khusus migas. Jumlahnya pasti lebih sedikit. Sehingga relatif akan lebih fokus dan lebih mudah. Selain juga BUMN khusus migas juga bisa konsentrasi mengelola PHE.
Dari sudut pandang PHE, tentu ini akan berdampak pada kecepatan pengambilan keputusan. Tata kelola model demikian akan menghilangkan satu tahap. PHE atau PHE operator WK Migas tidak memerlukan persetujuan dari SKK Migas.
Apalagi saat ini sebagian anak perusahaan Pertamina di hulu migas menggunakan model kontrak pembagian kotor atau PSC gross split. Yang senyatanya, SKK Migas memang hanya mengendalikan kegiatannya dan tidak mengendalikan biaya termasuk investasi. Semuanya diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan.
Namun risikonya, pemerintah akan kehilangan fungsi konsolidasi dan koordinasi. Pemerintah sampai saat ini terbantu banyak oleh fungsi SKK Migas yang secara reguler atau non-reguler menyampaikan data, saran dan masukan kepada pemerintah, karena SKK Migas memegang seluruh data perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia.
Selain itu, SKK Migas saat ini, dan nantinya dilanjutkan oleh BUMN khusus migas, dapat memberikan usulan untuk mengurangi biaya dengan kebijakan penggunaan fasilitas bersama antara perusahaan minyak yang memiliki WK Migas yang berdekatan. Termasuk juga mengkoordinasikan pengadaan bersama yang pada ujungnya akan menghemat biaya.
Peran lembaga seperti ini jelas tidak boleh hilang, masih dibutuhkan, maka harus ada yang menggantikan.
Catatan Akhir
Pilihan terhadap seperti apa BUMN pengganti SKK Migas sudah pasti pertaman-tama mempertimbangkan kepentingan nasional: kepentingan negara dan masyarakat.
Memang setiap pilihan selalu membawa konsekuensi. Yang paling penting, DPR dan pemerintah mendiskusikan secara holistik dan mempertimbangkan keseluruhan dampak positif dan negatif dari sebuah pilihan. Termasuk dampak ikutannya. Misalnya tentang bagaimana penanganan pekerja dan status pekerja.
Tidak ada pilihan yang benar-benar sempurna. Namun yang pertama-tama harus dihindari adalah pilihan yang mengarah pada konsekuensi munculnya gugatan baru lagi yang diikuti dengan pembubaran lembaga.
Wajib diingat, bahwa setiap pilihan sejatinya diperhatikan, dianalisis dan diamat-amati, bahkan dikalkulasi oleh para investor perusahaan energi nasional dan multinasional.
RUU Migas harus segera menjadi UU Migas supaya ada kepastian hukum. Semoga dengan demikian gairah investasi di bisnis hulu migas akan meningkat. Namun bila pilihannya tidak tepat justru berdampak sebaliknya.
Indonesia masih dipandang kurang ramah investasi, ujungnya investor akan memilih menanamkan uangnya di luar Indonesia, yang diprediksi lebih aman dan menguntungkan. Bagaimanapun juga investor adalah pebisnis yang mencari profit.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.