Transisi Energi, Defisit, dan Impor Migas

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
15 April 2023, 10:00
Pri Agung
Ilustrator: Betaria Sarulina

Pada 2022, kebutuhan devisa impor migas tercatat mencapai US$ 24,4, meningkat dari 2021 yang masih berada di kisaran US$ 13,3 miliar. Dengan nilau tukar rupiah yang berlaku pada saat itu, nilai keduanya kurang lebih adalah Rp. 380,4 triliun dan Rp. 189,4 triliun.

Rata-rata kebutuhan devisa impor migas selama periode 2015 sampai dengan 2021 berada di kisaran Rp 290 triliun per tahun.

Sebagai ilustrasi perbandingan, posisi cadangan devisa nasional di sepanjang 2022 rata-rata berada di kisaran US$ 130 miliar sampai US$ 140 miliar. Jika menggunakan asumsi nilai tukar Rp 15.500 per dolar AS, maka angkanya kurang lebih setara dengan Rp 2.015 triliun hingga Rp 2.170 triliun.

Artinya, pada tahun yang sama, porsi kebutuhan devisa impor migas rata-rata kurang lebih mencapai 15% sampai 20% dari cadangan devisa yang ada.

Pada 2030, jika mengacu pada skenario RUEN, kebutuhan devisa impor migas diproyeksi akan mencapai Rp 1.391 triliun. Sementara jika menggunakan skenario roadmap energi BPPT kebutuhan devisa impor migas pada masing-masing skenario adalah Rp 525 triliun (BAU), Rp 495 triliun (EV) dan Rp 491 triliun (NRE).

Besaran angka-angka itu signifikan baik secara nominal maupun dalam konteks keterkaitannya dengan ketersediaan cadangan devisa nasional.

SKK MIGAS DAN PHR TINJAU POMPA ANGGUK SUMUR BOR LAPANGAN DURI

Transisi Memerlukan Migas

Gambaran tentang kondisi bauran energi saat ini dan proyeksi ke depannya dengan berbagai skenario transisi energi yang ada dan keterkaitan implikasinya dengan defisit dan kebutuhan devisa impor migas di atas memberi sinyal bahwa implementasi transisi energi migas tetap tidak dapat dikesampingkan.

Semakin kita mengabaikan dan menganggap migas tidak lagi perlu diperhatikan, potensi dampak negatif yang akan berbalik melemahkan ketahanan ekonomi energi nasional akan semakin besar.

Defisit pasokan-kebutuhan migas yang terus meningkat akan memperbesar impor migas dari waktu ke waktu, dan dengan sendirinya akan terus menerus menggerogoti dan menggerus ketersediaan cadangan devisa nasional. Kondisi ini tidak hanya tidak sehat bagi keamanan pasokan energi nasional tetapi juga bagi ketahanan ekonomi nasional.

Pilihan untuk bertindak business as usual dan terlebih memperlakukan migas sebagai komoditas yang tidak lagi penting dan strategis dengan mengatasnamakan transisi energi pada dasarnya tidak hanya tidak proporsional dalam memandang dan merespons transisi energi tetapi juga berpotensi menggagalkan pencapaian tujuan dan esensi transisi energi itu sendiri.

Tanpa keamanan pasokan energi yang cukup dan tanpa ketahanan ekonomi yang tangguh transisi energi tak akan dapat berjalan dengan baik. Transisi energi untuk bergerak ke arah pengarusutamaan pendayagunaan sumber EBET memerlukan sinergi dengan sumber energi yang lain termasuk dengan sumber energi fosil itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia, secara lebih khusus, merujuk pada kondisi dan proyeksi di atas, transisi energi secara strategis dan implementatif memerlukan migas, baik sebagai sumber energi maupun sebagai komoditas yang memiliki nilai ekonomi.   

Halaman:
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Editor: Sorta Tobing

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...