Namun dari perspektif politik, kata Pri, pemerintah kemungkinan akan menahan diri untuk menaikkan harga BBM. “Sudah tanggung kalau menaikkan harga BBM sekarang. Tahun anggaran 2018 sudah hampir selesai, pemilu juga sudah dekat, April 2019,” kata dia.

Sumber Katadata.co.id di pemerintahan juga mengabarkan perdebatan sengit antara yang pro mengutamkan aspek politik dan mereka yang mendukung reformasi struktural dengan mengurangi subsidi. Di kubu pro politik, kenaikan harga BBM dikhawatirkan memicu inflasi sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Ujungnya, persepsi masyarakat kepada pemerintah menurun.

Bila ini terjadi akan buruk bagi Joko Widodo yang bakal berlaga pada Pilpres 2019. Walau jauh meninggalkan Prabowo Subianto, elektabilitas Jokowi, demikian dia biasa disapa, belum kokoh benar. Sejumlah survei menunjukkan keterpilihan mantan Gubernur DKI Jakarta itu 52 – 58 persen. Jika mengacu pada Pilpres 2009, dia mesti mengantongi elektabilitas di atas 60 persen seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebenarnya, bukan kali ini satu pemerintahan menimbang hal demikian. Bila ditarik ke belakang,  SBY memilih tak menaikkan harga BBM pada 2014 lalu saat harga minyak mencapai US$ 108,62 per barel. Padahal, ketika itu dia sudah masuk masa transisi. SBY bergeming. Alasannya, tanggung jawab tersebut bisa dipikul oleh pemerintahan yang baru.

Kal ini, kubu yang pro pembenahan struktur ekonomi mendorong menaikkan harga BBM dan memangkas subsidi. Langkah tersebut dinilai mujarab untuk menekan defisit neraca berjalan. Pelaku pasar akan merespons positif sehingga rupiah akan menguat dan bursa efek pun bergairah.

Selain itu, dampak politis kenaikan harga BBM lebih mudah ditangani dalam beberapa bulan mendatang. Hal berbeda ketika menghadapi rupiah yang masih loyo. Sebab, selain faktor internal, banyak penyebab eksternal yang akan menentukan seperti rencana bank sentral Amerika, The Fed, mengerek suku bunga, perang dagang Amerika-Cina, dan ancaman lonjakan harga minyak.

Puncak beda pandangan ini mencuat saat pemerintah tak jelas mengumumkan kenaikan harga Premium. Pada Rabu (10/10) sore, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyampaikan kenaikan Premium di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali. Harga Premium untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dinaikkan menjadi Rp 7.000 per liter dari Rp 6.550 per liter. Di luar Jamali, harganya Rp 6.900 per liter  dari Rp 6.450 per liter.

(Baca: Tiga Penyebab Jokowi Menunda Kenaikan Harga Premium )

Namun, sekitar setengah jam kemudian, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengumumkan kenaikan harga BBM batal. Menurutnya, pembatalan ini merupakan arahan langsung dari Presiden Joko Widodo. “Agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan Pertamina,” katanya.

Tak ada perubahan itu berlangsung hingga sekarang. Menurut Pri, jika BBM tidak naik, ada sejumlah hal yang akan terjadi. Pertama, selisih harga BBM dengan harga keekonomian akan semakin besar. Kedua, defisit fiskal APBN kian melebar. Ketiga, beban keuangan Pertamina bertambah.

Lalu keempat, secara tidak langsung dapat memberi sentimen negatif terhadap nilai tukar rupiah. Kelima, konsumsi BBM akan semakin tinggi karena harga tetap sehingga memperbesar impor BBM yang ujungnya meningkatkan defisit neraca migas. “Keterkaitannya juga ke pelemahan nilai tukar rupiah lagi,” ujar dia.

BBM Satu Harga Natuna
BBM Satu Harga Natuna (ANTARA FOTO/M N Kanwa)

Alhasil, Pri menyimpulkan jika pemerintah pada akhirnya menaikkan harga BBM, perlu dibarengi dengan dua upaya. Pertama membantu daya beli masyarakat yang terdampak paling besar dan pengendalian inflasi terkait kenaikan harga barang-barang lainnya.

Kedua, perlu mengantisipasi kebijakan embargo Presiden Amerika Donald Trump terhadap Iran November mendatang. Langkah ini dapat membuat harga minyak melonjak. Sejumlah analisis dunia bahkan memprediksi harga minyak bisa tembus US$ 100 per barel, walaupun IMF sempat meramalkan sebaliknya.

Pri memperkirakan pemerintah masih bisa menanggung beban fiskal untuk tahun ini jika harga minyak bergerak di kisaran US$ 80-85 per barel. “Untuk 2019, berbeda lagi kondisinya karena pemerintah akan menggunakan APBN yang baru,” kata dia.

Kini, bola kembali di kaki pemegang kekuasaan. Akankah pemerintah mengutamakan kebijakan populis ataukah menaikkan harga BBM untuk menyembuhkan defisit transaksi berjalan dan memperkuat rupiah?

Dalam kolom di harian Kompas, Jumat kemarin, Chatib Basri menutup artikelnya mengenai beratnya ekonomi tahun-tahun depan, di antaranya terkait rupiah. Ia menyitir pidato “Musim Dingin” Jokowi di pertemuan IMF-Bank Dunia di Bali. Menurutnya, tahun depan tak hanya menyimpan musim dingin, bahkan berpotensi menimbulkan badai salju. Karena itu, “Kita perlu bijak, dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis.”

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement