Mekanisme penentuan upah minimum seharusnya melalui tripartit, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Di dalamnya pun ada unsur akademisi dan pakar. 

Penetapan UMP pada November lalu sudah melalui mekanisme tersebut. “Tapi kok ada jilid kedua. Jangan-jangan nanti mendekati 2024 (pemilihan presiden) ada jilid 10,” ucapnya. 

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers itu juga menyampaikan revisi UMP DKI Jakarta melanggar regulasi pengupahan.

Pelanggaran itu akan menjadi catatan buruk bagi Anies yang telah Masuk bursa calon presiden pada Pilpres 2024. “Ini strong message untuk Pak Gubernur. Ini melanggar loh,” katanya. “Dia sebagai gubernur harusnya paham sekali. Apalagi kalau mau nyapres. Jadi catatan.”

Unjuk Rasa Indonesia Darurat Upah
Unjuk rasa Indonesia Darurat Upah. (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

3 Pelanggaran Anies di Mata Pengusaha

Wakil Ketua DPP Apindo DKI Jakarta bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Nurzaman mengatakan, UMP yang telah ada tidak perlu direvisi sebab sesuai prosedur. Angkanya pun cukup representatif. 

Kenaikan upah 0,8% sudah sesuai hasil Musyawarah Dewan Pengupahan DKI Jakarta pada 15 November lalu. Angka ini berdasarkan rekomendasi serikat buruh, dewan pengupahan, dan pemerintah.

Tidak ada aturan dan rujukan hukum yang sesuai dengan langkah Anies melakukan revisi UMP. Nurzaman melihat ini sebagai bentuk pelanggaran hukum. “Kami diajarkan oleh pemerintah, perusahaan harus taat kepada peraturan dan juga regulasi. Nah, sekarang pemerintah bikin aturan yang salah, apa harus kami ikuti?” kata Nurzaman.

Sebagai informasi, UMP seluruh provinsi di Indonesia sudah ditetapkan pada tanggal 21 November 2021. Untuk provinsi DKI Jakarta, penetapan ini termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1395 Tahun 2021.

Perhitungan ini juga mempertimbangkan hasil rekomendasi dewan pengupahan DKI Jakarta sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang juga adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 alias UU Cipta Kerja.

Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana mengatakan revisi UMP yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta keliru dalam tiga hal. Pertama, Anies melanggar PP Nomor 36 Tahun 2021 Pasal 9 dengan melewati masa waktu penetapan terakhir, yaitu tanggal 21 November lalu. 

Kedua, pemerintah provinsi menggunakan tata cara perhitungan yang tidak sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 Pasal 6. Dalam peraturan ini, salah satu faktor penentu UMP adalah angka aktual proyeksi pertumbuhan ekonomi di 2021alih-alih 2022. 

Ketiga, keputusan Anies diambil secara sepihak saja. Dewan pengupahan tidak diajak berdiskusi dalam revisi ini. “Kalau seorang gubernur bisa menetapkan UMP dengan cara yang sangat otoriter seperti itu, apa gunanya peraturan perundangan?” kata Danang.

Apindo akan menunggu salinan Surat Keputusan (SK) Gubernur mengenai revisi UMP yang sampai saat ini masih belum diterima. Apabila SK tersebut sudah dikeluarkan, maka dewan pengupah akan berkoordinasi dengan berbagai elemen dan melakukan permohonan pencabutan pergub tersebut. 

Apabila cara tersebut tidak berhasil, Apindo berencana melakukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalangan pengusaha juga meminta Menteri Dalam Negeri dan Menteri Ketenagakerjaan memberi sanksi kepada Anies.

“Karena (revisi UMP) berpotensi menimbulkan iklim tidak kondusif bagi hubungan industrial dan perekonomian nasional,” kata Hariyadi.

Menteri Dalam Negeri, menurut dia, perlu memberikan pembinaan atau sanksi kepada kepala daerah yang tidak memahami peraturan perundahangan. "Kami juga mengimbau perusahaan untuk tidak menerapkan revisi UMP DKI yang telah diumumkan Gubernur DKI sambil menunggu keputusan PTUN berkekuatan hukum tetap," ucapnya.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement