Riefky menilai, penambahan anggaran subsidi sebenarnya menimbulkan tanda tanya besar terhadap komitmen pemerintah untuk mendorong transformasi subsidi energi yang lebih tepat sasaran. Subsidi energi selama ini masih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah atas.

"Penambahan anggaran subsidi tentu akan mengganggu progres dan upaya pemerintah menuju reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan lebih ramah lingkungan," kata Riefky.

Alasan serupa sebelumnya sempat disinggung oleh Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah pada awal pekan lalu. Politikus asal Madura itu mempertanyakan urgensi pemerintah terus menambah anggaran di saat anggarannya justru tidak tepat sasaran.

Ia menyebut selisih harga antara BBM bersubsidi dengan nonsubsidi makin lebar. Hal ini yang kemudian mendorong banyak masyarakat bermigrasi menggunakan BBM subsidi, Walhasil, kuotanya semakin menipis.

"Kalau seperti ini pemerintah tidak punya pijakan, lebih baik tidak ada penambahan anggaran, sehingga yang terbaik ada pemerintah secara gradual menaikkan harga BBM bersubsidi," kata dia saat ditemui di Komplek Parlemen, Selasa (16/8).

Dalam data Susenas 2020 menunjukkan subsidi khususnya Pertalite justru banyak dinikmati masyarakat menengah atas. Kondisi ini terlihat pada diagram di bawah ini yang menunjukkan, konsumsi Pertalite lebih banyak dinikmati 10% masyarakat terkaya dibandingkan termiskin. 

Bank Dunia juga sempat 'menyentil' pemerintah yang dinilai banyak menggelontorkan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi tetapi tidak tepat sasaran. Subsidi energi diperkirakan meningkat dari 0,8% PDB menjadi 1,1% pada tahun ini. Subsidi yang digelontorkan ini sebagian besar justru dinikmati masyarakat kelas menengah dan atas. Dua kelompok konsumen tersebut menyedot antara 42%-73% dari subsidi solar dan 29% dari subsidi LPG.

Bank Dunia mengestimasikan, jika kedua subsidi ini dihapus, maka akan menghemat anggaran mencapai 1,1% dari PDB. Pemerintah bisa menggantinya dengan bantuan sosial kepada masyarakat miskin, rentang dan kelas menengah yang memang membutuhkan dengan alokasi sekitar 0,5% PDB. Dengan demikian, secara neto, Bank Dunia menyebut keuntungan fiskalnya bisa sebesar 0,6% PDB.

Lembaga ini juga menilai pemberian subsidi hanya menahan tekanan inflasi dalam jangka pendek karena harga komoditas yang tinggi diperkirakan tetap stabil dan karakteristik subsidi yang tidak berkelanjutan.

"Ada alasan kuat mengenai perlunya menyiapkan rencana keluar dari subsidi energi tinggi dengan meneruskan harga ke konsumen secara gradual dan beralih kepada subsidi yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan," kata Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2022.

Kenaikan Inflasi dan Pukulan Daya Beli

Menaikkan harga BBM untuk menjaga APBN bukan tanpa risiko. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut kenaikan harga BBM subsidi jenis pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter akan memberi tambahan inflasi 0,93%. Belum lagi, menurut dia, ada second-round effect  atau efek lapis kedua yang dapat muncil. Ia memperkirakan, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi naik ke kisaran 6%-7% pada akhir tahun ini.

"Produsen dan wholesaler akan langsung meneruskan kenaikan harga BBM ini ke konsumen. Kondisi ini beda dengan saat harga gandum naik, mereka belum meneruskan kenaikan itu ke konsumen. Tapi kalau kenaikan BBM, ini sulit untuk ditahan," kata Josua kepada Katadata.co.id

Terlepas dari rencana kenaikan harga BBM, inflasi sebenarnya juga sudah terlihat merangkak naik. Pada Juli, indeks harga konsumen (IHK) mencapai 4,94% yang merupaka rekor tertingginya sejak Oktober 2015.

Menurut Josua, kenaikan harga BBM akan mengganggu proses pemulihan, baik dari sisi konsumsi maupun investasi. Kenaikan harga akan menahan belanja masyarakat, terutama untuk kebutuhan sekunder dan tersier. Konsumsi yang turun pun berdampak ke investasi dan sisi produksi.

"Kapasitas produksi bisa saja turun serta belanja modal atau investasi yang dilakukan perusahaan juga akan terbatas," kata dia. 

Namun, Josua menyebut magnitude dari dampak kenaikan harga terhadap pertumbuhan ekonomi ini akan bergantung dengan waktu. Dampaknya bisa lebih kecil jika kenaikan harga BBM dilakukan pada saat harga komoditas lain, terutama pangan mulai turun.

Sebaliknya, kenaikan harga BBM akan lebih berisiko jika dilakukan pada saat harga pangan sedang naik seperti pada akhir tahun. "Karena itu perkiraan kami pada semester kedua nanti pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih rendah dibandingkan semester pertama, kemungkinan di kisaran 4,9 - 5 %," kata dia.

 

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyarankan pemerintah masih menahan kenaikan harga untuk menjaga pemulihan ekonomi. Namun jika pilihan itu dirasa suit, opsi lainnya pemerintah perlu mengambil jalan pintas memastikan kuota BBM bersubsidi tidak habis sebelum akhir tahun.

"Tidak harus menambah anggaran atau menaikan harga, tapi fokus pada pengendalian dan pembatasan BBM bersubsidi," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Pembatasan melalui aplikasi -MyPertamina- yang sedang diuji coba Pertamina sebelumnya dinilai tidak efektif diterapkan saat ini. Pilihannya dengan hanya memperbolehkan kendaraan roda dua dan angkutan umum untuk membeli Pertalite dan Solar. Mobil pribadi dan di luar dua jenis kendaraan tadi diarahkan untuk membeli BBM nonsubsidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengatakan penerapan pembatasan pembelian BBM bersubsidi Pertalite bakal berlaku mulai bulan depan. Ketentuan ini akan diatur dalam revisi Perpres 191 tahun 2014 yang direncanakan rampung pada bulan ini.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement