Daftar 10 Pasal Kontroversial RUU KUHP yang Akan Disahkan DPR

Ira Guslina Sufa
2 Desember 2022, 15:12
RUU KUHP
ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.
Pengunjuk rasa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Koalisi Masyarakat Sipil melakukan unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/8/2022).

Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah telah sepakat membawa draft Rancangan Undang-undang KUHP untuk disahkan dalam rapat paripurna DPR. Tahapan akhir pengambilan keputusan di Parlemen itu akan digelar sebelum masa reses DPR pada 15 Desember mendatang. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan rencana pengesahan RUU KUHP terlalu dini dan terkesan tergesa-gesa. Padahal menurut Isnur masih ada beberapa pasal yang perlu dibahas lebih jauh karena berpotensi bermasalah di kemudian hari. 

Advertisement

“Kami kecewa dengan wakil rakyat dan pemerintah yang kembali tergesa-gesa. Ini mengulang tragedi 2019. Dampak pengaturan itu masih harus dibahas lagi dengan baik,” ujar Isnur kepada Katadata.co.id. 

Menurut Isnur, pemerintah dan DPR juga terkesan tidak terbuka terkait sejumlah pasal yang telah diubah dan direvisi sebelum disahkan di sidang paripurna. Baik DPR maupun pemerintah dinilai tak melakukan sosialisasi hasil pembahasan dengan terbuka kepada publik. Padahal menurut dia, publik perlu mendapatkan informasi yang jelas karena RUU KUHP yang akan disahkan berdampak luas pada masyarakat. 

Isnur mengatakan sejumlah pasal dinilai masih kontroversial karena berpotensi multitafsir. Hal ini justru berpotensi membuat terjadinya kriminalisasi kepada masyarakat. Apalagi bila hukum diinterpretasikan oleh kepentingan pejabat atau penguasa yang sedang memegang kursi kepemimpinan. 

Ulasan Lengkap 10 Pasal Kontroversial dalam RUU KUHP

1. Pasal tentang Pendapat di Muka Umum

Pasal 256 

Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Menurut Isnur, salah satu pasal yang berpotensi merugikan masyarakat adalah pasal 256 tentang kewajiban publik untuk memberi informasi terlebih dahulu bila ingin melakukan unjuk rasa.  Merujuk dokumen draft RUU KUHP terbaru, pasal 256 menyatakan bahwa orang yang menyampaikan pendapat di muka tanpa izin dapat dihukum penjara. 

Isnur mengatakan keberadaan pasal 256 menunjukkan adanya kemunduran dalam berdemokrasi. Selain itu pasal ini juga menempatkan kebebasan berpendapat pada posisi beresiko dianggap sebagai kejahatan dan tindakan pidana. 

“Setelah reformasi kemudian kita mengetahui bahwa berpendapat di muka umum merupakan hak yang dijamin undang-undang. Bagaimana mungkin bila kemudian berpendapat di muka umum hanya dibolehkan setelah pemberitahuan dan bila dilakukan tanpa pemberitahuan disebut sebagai sebuah kejahatan,” ujar Isnur. 

2. Pasal tentang Komunisme, Leninisme dan Marxisme

Pasal 188 (1) 

Setiap Orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

Isnur menilai larangan penyebaran marxisme, leninisme dan komunisme absurd lantaran tak memiliki indikator yang jelas. Apalagi menurut Isnur ketiga paham tersebut sudah biasa diajarkan di universitas dan perguruan tinggi. 

Isnur mengatakan masuknya pembahasan mengenai marxisme, leninisme dan komunisme dalam RUU KUHP menunjukkan sempitnya pemahaman kebangsaan. Menurut Isnur tidak ada indikator yang jelas untuk menyatakan suatu paham bertentangan atau tidak dengan pancasila. 

“Ini menganut penyakit akut yang sudah ada sejak orde baru. Dan pancasila kalau dibaca bersama adalah nilai yang terbuka. Yang bisa menampung aspirasi dari berbagai ideologi,” kata Isnur. 

3. Pasal tentang Penghinaan Presiden 

Pasal 218 

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. 

Pasal 219 

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Masuknya pasal mengenai penghinaan presiden dalam RUU KUHP menurut Isnur cukup kontroversial. Apalagi pasal ini dulunya pernah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Keputusan ini membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab 

Saat itu MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. 

“Oleh MK di masa reformasi dihapus, sekarang itu dihidupkan kembali ini kontraproduktif,” kata Isnur. 

Ia menilai pasal penghinaan presiden ini berpotensi menyeret masyarakat yang tidak terlalu melek hukum untuk dipidanakan. Apalagi masyarakat awam biasanya tidak terlalu bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Seringkali kritik disampaikan dengan marah sehingga berpotensi disebut sebagai penghinaan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement