- Penurunan pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP dalam RUPTL 2021-2030 menyesuaikan berkurangnya permintaan listrik karena pandemi Covid-19.
- PLTP tidak menjadi prioritas karena tidak bisa dibangun cepat, biaya untuk investasinya pun mahal.
- Pengembangan PLTP sebaiknya tetap berjalan karena potensinya sangat besar di Indonesia.
Kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi alias PLTP terpangkas pada penyusunan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN periode 2021-2030. Dalam draf yang dipaparkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kapasitasnya hanya 2.395 megawatt (MW).
Angka itu berkurang hampir setengahnya dibandingkan RUPTL 2019-2018m yaitu 4.607 megawatt. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mengatakan, pembahasan drafnya belum final tapi penambahan kapasitas PLTP sudah ditetapkan. “Di angka 2.400 megawatt tambahannya,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (21/6).
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (APBI) Priyandaru Effendi mengatakan, RUPTL itu telah menunjukkan komitmen pemerintah mengejar target transisi ke energi bersih. Angkanya juga menyesuaikan penurunan permintaan listrik karena pandemi Covid-19. “Apabila kondisi membaik, kami mohon untuk memaksimalkan lagi target panas bumi dalam RUPTL yang setiap tahun dikaji ulang,” ujar Priyandaru siang tadi.
Panas bumi dapat menjadi sumber energi untuk menggantikan peran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. “Untuk menargetkan bauran energi, harus diperhatikan juga kapasitas dan keandalannya, jangan hanya kapasitas terpasang saja,” katanya.
Sejak 2008, PLTU mendominasi kapasitas pembangkit di Indonesia. Pada Juni 2020, pembangkit tersebut telah menghasilkan 35.220 MW atau 50% dari total kapasitas. Pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menyusul dengan 20.537 MW.
PLTU selama ini berkontribusi besar terhadap emisi karbon dioksida. Pemerintah berencana mengurangi pemakaiannya. Rencananya, dalam RUPTL 2021-2030 tidak ada lagi penambahan proyek baru pembangkit berbahan bakar batu bara. Langkah ini sejalan dengan instruksi Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Apa Pemicu Pemangkasan Target PLTP?
Direktur Eksekutif Institute for Essential Servie Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, saat ini pemerintah dan PLN mengutamakan pembangkit yang dapat dibangun dalam waktu cepat. Sedangkan PLTP tidak bisa dibangun cepat, biaya untuk investasinya pun mahal.
Proses pengembangan PLTP melibatkan proses yang panjang. Di Indonesia, sebagian besar proyek memakan waktu sekitar 11 hingga 13 tahun.
Alur pengembangannya dimulai dari eksplorasi. Ini pun mencakup berbagai tahapan. Kemudian, ada banyak perizinan yang harus diselesaikan pengembang. “Setelah itu, masuk ke konstruksi, dan lainnya. Jadi, akan lama,” kata Fabby.
Kemunculan pandemi Covid-19 mau-tak mau berpengaruh terhadap proyek eksplorasi PLTP. Karena itu, RUPTL 2021-2030 memang sesuai dengan kebutuhan waktu proyek-proyek yang terganggu. “Di RUPTL berikutnya bisa saja bertambah,” lanjutnya.
Di saat yang sama, PLN tengah menekan biaya di tengah pandemi Covid-19. Karena itu, perusahaan setrum negara ini lebih memprioritaskan pembangkit yang harganya kompetitif, bahkan lebih murah.
Pemicu pengurangan pembangkit panas bumi lainnya adalah harga jual listriknya yang mahal dibandingkan pembangkit lain. “Pastinya jauh lebih mahal dibandingkan PLTU,” ujar Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan.
Selama ini pengembangan PLTP pun tidak signifikan. “Sangat disayangkan, harusnya angkanya naik. Pengurangan ini saya kira bertolak belakang dengan target bauran energi,” katanya.
Sebagai informasi, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2017 tentang rencana umum energi nasional atau RUEN tercantum target bauran energi nasional. Angkanya di 23% pada 2025.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris sebelumnya mengatakan, kapasitas terpasang PLTP saat ini baru mencapai 2.130,7 MW. Padahal, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia.
Karena itu, perlu upaya keras dalam mengejar pemanfaatan potensi panas bumi yang cukup besar ini. "Target kapasitas terpasang PLTP pada 2030 sebesar 4.550 megawatt," katanya.
Upaya Pemerintah Tingkatkan Target PLTP
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan atau EBT. Salah satunya dengan menggenjot eksplorasi panas bumi.
PT Geo Dipa Energi (Persero) dipercaya pemerintah dalam penugasan eksplorasi ini. “Saya berharap dengan semakin banyaknya penugasan, proyek panas bumi ke depan semakin kompetitif,” ujar Fabby.
Eksplorasi ini harapannya dapat menurunkan harga PLTP yang saat ini relatif tinggi. Kini, harganya berkisar di atas US$ 10 sen per kilo Watt hour (kWh). “PLN selama ini ingin melihat apakah harga panas bumi bisa turun di bawah US$ 9 sen, mungkin kisaran US$ 7 sen hingga US$ 8 sen per kwh,” kata Fabby.
Eksplorasi panas bumi yang tengah dan akan berlangsung akan mempengaruhi proyek lainnya. “Yang penugasan eksplorasi cukup banyak, mungkin akan lebih banyak proyek masuk ke depannya,” katanya. “Sepertinya bisa lebih banyak proyek setelah 2025.”
Sebagai informasi, Kementerian ESDM berencana melakukan eksplorasi panas bumi di 20 wilayah pada 2020-2024. Total kapasitas yang akan dikembangkan mencapai 683 MW. Gunung Galunggung, Jawa Barat memiliki porsi pengembangan paling besar, yakni 110 MW.
Bagaimana Nasib PLTP Selanjutnya?
Mamit berpendapat berkurangnya target PLTP tak hanya berdampak bagi pemerintah dan PLN. Investor di sektor industri panas bumi juga ikut terpukul dengan kebijakan ini.
Investasinya membutuhkan dana dan modal cukup besar. Di sisi lain, pengembaliannya juga cukup lama. “Saya khawatir, dengan kondisi seperti ini akan membuat investasi tidak berjalan secara optimal,” kata Mamit.
Data dari Databoks berikut ini menunjukkan potensi EBT di Indonesia mencapai 417 Giga Watt. Pemerintah meyakini energi terbarukan tak akan habis hingga 100 tahun ke depan.
Perkembangan teknologi akan membuat energi terbarukan menjadi semakin kompetitif. “Dengan potensi yang sangat besar, saya kira seharusnya bisa dioptimalisasi untuk kejar target bauran energi,” ungkap Mamit.
Pengembangan PLTP harus tetap berjalan. Pemerintah juga diharapkan terus memperhatikan pemanfaatannya. “Jangan sampai justru mengurangi atau menghentikan kegiatan-kegiatannya. Bagi saya, panas bumi adalah salah satu energi masa depan kita,” kata Mamit.
Fabby pun berpendapat serupa. PLTP ini harus dikembangkan terus. Tetapi, jangan sampai melupakan aspek ekonomi. “Kalau belum siap, ya susah juga. PLN yang beli akan keberatan dengan harga yang tinggi,” ucapnya. Saat ini perlu upaya menurunkan biaya panas bumi agar lebih murah.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (magang)