• Presiden Joko Widodo kembali menegur Pertamina karena lambatnya pengerjaan pembangunan kilang.
  • Keberadaan kilang dinilai penting, tapi tak serta-merta dapat mengurangi impor BBM.
  • Pembangunan tak kunjung selesai salah satu penyebabnya karena pemerintah kurang memberikan insentif. 

Salah satu program Nawacita Presiden Joko Widodo adalah pembangunan kilang minyak. Sejak awal pemerintahannya, yaitu 2014, ia menargetkan pembangunan kilang minyak akan selesai dalam tiga tahun.

Kenyataannya, hingga kini tak ada satu pun yang selesai dari pembangunan lima kilang. Beberapa kali ia meluapkan kekesalannya. Yang teranyar dan menjadi sorotan media adalah pada akhir pekan lalu.

Advertisement

Jokowi mengatakan sempat membentak Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati karena lambat mengeksekusi proyek kilang petrokimia PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur.

Investasi proyek itu mencapai US$ 3,8 miliar atau sekitar Rp 54,2 triliun. “Sudah bertahun-tahun belum jalan juga. Padahal setelah dilantik 2014, saya langsung ke TPPI karena saya tahu barang ini kalau bisa jalan akan menyelesaikan banyak hal,” katanya, Sabtu (20/11). 

TPPI ditargetkan menjadi pabrik petrokimia terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah berharap kehadirannya dapat menjawab masalah impor bahan bakar minyak di Indonesia. Masalah ini telah lama membebani neraca perdagangan dan pembayaran negara. 

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Januari hingga Oktober 2021 Indonesia mengimpor 10,86 juta ton minyak mentah. Angka ini naik 18,8% dari sebelumnya sebesar 9,15 juta ton di periode yang sama. 

Secara persentase tidak terlalu tinggi. Namun, secara nilai, seiring dengan flutuasi harga minyak mentah dunia, kenaikannya mencapai 80% menjadi US$ 5,31 miliar.

Pada Desember 2019, Presiden juga sempat menyentil Pertamina karena progres pengembangan sejumlah kilang tak berjalan mulus. “Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Kita masih impor terus. Ini ada apa?” katanya kala itu. 

Sebenarnya bukan hanya TPPI, Pertamina punya lima proyek peningkatan kapasitas kilang minyak lainnya. Pembangunan kilang ini diutamakan untuk penyediaan kebutuhan BBM dan mengurangi impor.

Proyek tersebut tercantum dalam keputusan Presiden Joko Widodo, yaitu Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Biaya pembangunannya diperkirakan mencapai US$ 36,27 miliar (sekitar Rp 517,6 triliun). Jumlah itu untuk revitalisasi kilang US$ 15,27 miliar dan pembangunan kilang baru US$ 21 miliar.

Ada dua pembangunan kilang minyak dan petrokimia yang baru (grasroot refinery/GRR), yaitu di Kilang Tuban, Jawa Timur, dan Bontang, Kalimantan Timur. Namun, proyek yang terakhir ini batal dilanjutkan karena partner Pertamina, yaitu Oman Overseas Oil and Gas (OOG), tidak melanjutkan kerja sama. 

Lalu, ada pula proyek pengembangan kilang yang sudah ada (redefinery development master plan/RDMP) di lima titik, yaitu Kilang Cilacap, Kilang Balongan, Kilang Dumai, Kilang Balikpapan, dan Kilang Plaju.

KILANG TPPI TUBAN
Kilang TPPI. (ANTARA FOTO/Moch Asim)

Pentingnya Pembangunan Kilang

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat, pembangunan kilang memang dapat mengurangi defisit neraca perdagangan. “Kita bisa mengolah minyak mentah sehingga ada nilai tambah dari produknya,” katanya kemarin, Senin (22/11).

Apalagi kebutuhan produk turunan minyak bakal semakin tinggi di masa depan. Prediksi Pertamina, pada 2030 Indonesia membutuhkan produk petrokimia sebanyak 7.646 kilo ton per tahun. Hal ini tidak sebanding dengan produksi dalam negeri yang kini hanya 1.000 kilo ton per tahun. 

Untuk kebutuhan BBM dalam negeri diperkirakan mencapai 1,5 juta barel per hari (barrel oil per day/BOPD). Namun, kapasitas produksi kilang hanya di angka 700 ribu sampai 800 ribu BOPD. Perbedaan angka-angka inilah yang mengharuskan Indonesia mengambil pilihan antara impor minyak atau meningkatkan produksi. 

Meskipun dapat meningkatkan produksi dalam negeri, Mamit mengatakan keberadaan kilang tidak serta-merta mengurangi impor. "Impor akan selalu besar bila konsumsi BBM dalam negeri kita tinggi,” ucapnya.

Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman menyebut bisnis impor ini menyumbang biaya yang signifikan untuk neraca perdagangan Indonesia. Kondisi ini terjadi karena separuh kebutuhan BBM merupakan impor.

“Saya dengar dari orang-orang yang impor minyak, mereka mendapat keuntungan US$ 3 sampai US$ 4 per barel. Ini banyak sekali. Bisnis puluhan miliar per hari,” ucap Ferdy. 

Selain BBM, impor bahan bakar fosil yang cukup besar pula adalah elpiji atau LPG. Ferdy menyebut, kondisi ini yang menyebabkan defisit neraca perdagangan terus melebar.

Saat ini hanya sedikit produk gas alam Indonesia yang dapat diolah menjadi elpiji. Gas alam domestik hanya mampu memenuhi 28% kebutuhan elipiji nasional. Sisa kebutuhannya terpaksa ditutup dengan impor. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora, Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement