Potensi ekonomi digital di Tanah Air sungguh luar biasa. Setidaknya hal itu tergambar dari perhitungan World Market Monitor. Pada 2025, sektor ini diperkirakan menyumbang US$ 155 miliar atau sekitar Rp 2.294 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka fantastis tersebut yang sedang dibidik pemerintah, di antaranya melalui Sidang Tahunan IMF (Dana Moneter Internasional)-Bank Dunia.
World Market Monitor menyebutkan bahwa sumbangan ekonomi digital terdiri dari peningkatan lapangan kerja senilai US$ 35 miliar atau Rp 518 triliun. Angka ini sekitar 2,1 persen PDB dan mendorong produktivitas US$ 120 miliar atau Rp 1.776 triliun, setara 7,4 persen PDB. Melihat besarnya potensi ini, tak heran bila dalam pertemuan IMF-Bank Dunia yang bakal digelar di Nusa Dua, Bali pada 9-15 Oktober pekan depan, ekonomi digital salah satu topik utamanya.
Pemerintah menyiapkan enam agenda terkait digital, di antaranya G20 Deputies dan MGM meeting; Bank Indonesia (BI)-ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO)-Bank Pembangunan Asia (ADB) Seminar; dan Bali Financial Technology (Fintech). Lalu ada Fintech Talks bertajuk ‘Utilizing Fintech as a Platform for Enhancing SMEs and Islamic Financing’ oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); Central Banking Forum; dan BI- Reinventing Bretton Wood Committee (RBWC) seminar.
Keenam agenda ini berfokus mengkaji dampak ekonomi digital terhadap perekonomian, khususnya sistem pembayaran, operasional bank sentral, serta kerja sama dan peraturan lintas batas. “Ini untuk menghadapi raksasa multinasional teknologi yang semakin kuat,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam dialog terkait kesiapan Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan IMF-Bank Dunia, di Jakarta, Senin (17/9) malam.
Pemerintah ingin memastikan Indonesia memperoleh manfaat optimal dari perkembangan ekonomi digital, bukan hanya menjadi pasar. Dari perpajakan, misalnya, pemerintah berharap raksasa teknologi (Over The Top/OTT) seperti Google termasuk Amazon yang berencana masuk ke Indonesia membayarnya optimal. (Baca: Amazon Akan Investasi Rp 14,5 Triliun di Indonesia dalam 10 Tahun).
Hanya, untuk memungut pajak perusahaan teknologi yang berbasis di luar negeri, perlu kebijakan lintas batas. Untuk itu, pemerintah mendorong kesepakatan prinsip-prinsip pengelolaan ekonomi digital selama sidang tahunan tersebut.
Selain keenam agenda itu, BI menggelar dua forum terkait digital. Pertama, BI-Federal Reserve NY Joint Central Banking Forum yang berfokus membahas perkembangan ekonomi Amerika Serikat, termasuk kebijakan moneter hingga proteksionisme perdagangan. BI juga memandang perlu ada pembahasan seputar risiko siber terhadap bank sentral. Apalagi, bank sentral di bebeberapa negara tengah mengkaji manfaat blockchain untuk operasional.
Kedua, High Level Policy Dialogue on Regional Cooperation to Support Innovation, Inclusion and Stability in Asia: Asia’s Future-Harnessing Technology to Promote a Stronger and More Inclusive Asia. Pembahasannya seputar peluang dan tantangan terkait transformasi sistem keuangan ke arah digital. Juga membahas peran swasta hingga pemerintah dalam mengembangkan ekonomi digital.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan, Bali Fintech agenda bakal merangkum pembahasan seputar ekonomi dan keuangan digital untuk mendorong pengembangan UKM, perdagangan secara online (e-commerce) dan fintech. “Akan dibahas juga mengenai cross border financing (pendanaan digital lintas negara),” ujar Perry.
Ia pernah mengatakan, fintech pinjam-meminjam (lending) berisiko menciptakan shadow banking yang berasal dari luar negeri. Untuk itu, “regulasi dan supervisi fintech, termasuk dimensi lintas batas antaryurisdiksi diperlukan agar tidak menciptakan shadow banking, yang merupakan sumber risiko baru,” katanya.
Masalahnya, menurut Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi, membuat regulasi lintas batas (cross border) tidaklah mudah. Sebab, kebijakan di setiap negara kerap berbeda. Alhasil, tidak gampang menerapkan aturan lintas batas ini.
Alhasil, kebijakan lintas batas menjadi fokus utama dari pembahasan ekonomi digital di sidang tahunan ini guna meminimalisiasi dampak negatif dari disrupsi teknologi. Hanya, di satu sisi pemerintah ingin memaksimalkan acara tersebut untuk meningkatkan investasi di bidang ekonomi digital. Untuk itu, digital menjadi bagian yang dibahas dalam pertemuan dunia tersebut.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan aliran ekonomi digital akan menjadi pembeda Indonesia sebagai tuan rumah sidang tahunan IMF-Bank Dunia. Meskipun bukan yang terbesar dari sisi ekonomi digital, Indonesia menjadi salah satu negara teraktif. “Hal ini bisa dilihat dari Indonesia yang menjadi hub repository untuk address isu global di pertemuan G20,” ujar Rudiantara.
Pemerintah pun mengundang Founder dan Chairman Alibaba, Jack Ma dalam acara tersebut. Dia diharapkan bisa membantu pemerintah mengembangkan industri e-commerce di dalam negeri. Apalagi, data World Market Monitor menunjukan, e-commerce menyumbang 30 persen peningkatan konsumsi di Indonesia pada 2017. Alhasil, e-commerce diproyeksi menyumbang pendapatan di sektor retail US$ 20 miliar atau setara 2-3 persen PDB pada 2022.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Jack Ma memberikan masukan agar pemerintah mempersiapkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berbisnis di e-commerce. Apalagi, perusahaan besar yang menggeluti sektor ini terbatas sehingga perusahaan kecil akan banyak berperan.
(Baca: Dekati Target, 7,2 Juta UMKM Sudah Go-Online)
Oleh karenanya, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) juga dibahas dalam sidang tahunan itu. Setidaknya, pemerintah mendorong kesepakatan pembangunan manusia atau Human Index Capital dan program menghadapi perubahan iklim yang tengah melanda dunia.
Menurut data World Market Monitor, ekonomi digital bisa menciptakan 3,7 juta lapangan kerja hingga 2025. Hanya, selama proses tersebut ada pekerjaan yang hilang atau tergantikan. “Harus ada mitigasi dalam hal inequality,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri bidang Kebijakan Moneter, Fiskal dan Publik Raden Pardede.
Bila persoalan ini tidak diatasi, Indonesia akan kesulitan menyaingi Singapura sebagai pusat ekonomi digital di ASEAN pada 2020. Mengutip Forbes, hasil kajian perusahaan konsultan real estate Jones Lang LaSalle (JLL) menunjukan, Singapura menjadi tujuan investasi utama Alibaba, Baidu, Tencent,Google, Amazon, dan Facebook. Menurut Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura (EDB), 80 dari 100 perusahaan teknologi terkemuka di dunia beroperasi di sana.
Sejalan dengan tantangan itu, pemerintah juga memanfaatkan forum IMF-Bank Dunia untuk menarik lebih banyak investor. Kementerian Komunikasi menggelar “The Next Indonesia Unicorn (Nexticorn) Internasional Summit” pada 13-14 Oktober 2018. Lewat acara ini, pemerintah mempertemukan startup Indonesia dengan venture capital (VC) lokal dan asing.
Bahkan, Asosiasi Blokchain Indonesia juga memanfaatkan sidang tahunan itu dengan menggelar Xblockchain Summit di Bali, pada 9-10 Oktober. Acara ini juga menghubungkan startup di bidang blockchain dengan investor. Pemain besar itu seperti pendiri Ripple dan Stellar, Jed McCaleb; ex Microsoft Tiongkok dan veteran Ethereum Foundation, David Ben Kay; dan, ex Presiden NEM.io Foundation dan pendiri ProximaX, Long Wong turut diundang.
Secara umum, disrupsi teknologi seperti komputasi awan (cloud computing), internet of things (IoT), dan big data juga juga menyumbang PDB Indonesia. Berdasarkan data World Cellular Information Service (WCIS), pendapatan vendor dari cloud computingdi Indonesia naik dari US$ 209 juta di 2014 menjadi US$ 364 juta pada 2015.
Sementara penggunaan layanan IoT naik dari 32 juta unit menjadi 39 juta unit pada 2015. Penggunaan big data melonjak dari 277 petabyte menjadi 448 petabyte per bulan pada 2015. Selain itu, pendapatan dari penggunaan internet naik dari US$ 56 juta menjadi US$ 67 juta di 2015.
Korelasi antara pertumbuhan PDB dengan kenaikan 10 persen poin penetrasi internet
Studi | Negara/Wilayah | Tahun | Korelasi terhadap PDB |
Koustrompis (2009) | 22 negara OECD | 2002-2007 | 0,9-1,5pp |
Czernich et al. (2009) | 25 negara OECD | 1996-2007 | 0,3-0,9pp |
Garcia Zaballos and Lopez-Rivas (2012) | 26 negara latin amerika dan carrebean | 2003-2009 | 3,2pp |
Qiang et al. (2009) | 120 negara berkembang | 1980-2006 | 1,21pp |
Negara Berkembang | 1980-2006 | 1,38pp | |
Scott (2012) | 120 negara berkembang | 1980-2011 | 1,19pp |
Negara Berkembang | 1980-2011 | 1,35pp |
Sumber: Kadin