Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi Dwi Sawung menilai Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membohongi rakyat. Sebab, DPR dan pemerintah menlanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Padahal, Jokowi dan DPR pernah menyatakan akan menunda pembahasan RUU Minerba. “Hanya mulut saja yang bilang ditunda, tetapi faktanya tidak. Itu namanya membohongi rakyat," kata Sawung di Jakarta, Kamis (26/9).
Menurutnya, pembahasan RUU Minerba tersebut tidak dilakukan secara terbuka kepada masyarakat. Sawung bahkan belum mengetahui isi rancangan beleid tersebut.
Anggota koalisi yang juga Manajer Advokasi dan Pengembangan Program Publish What You Pay (PWYP) Aryanto Nugroho menyatakan, pasal-pasal dalam Draft RUU Minerba masih kental dengan nuansa eksploitasi sumber daya alam, khususnya minerba. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pembahasan RUU Minerba.
"Jangan sampai ada upaya-upaya untuk menyelundupkan dan mempertahankan pasal-pasal bermasalah," ujar Aryanto.
(Baca: Kementerian ESDM Serahkan DIM RUU Minerba Karena Permintaan DPR)
Menurutnya, proses pembahasan draft RUU Minerba sangat bermasalah karena tidak transparan dan akuntabel. Pasalnya, pembahasan RUU dalam Rapat Dengar Pendapat untuk membahas RUU Minerba hanya melibatkan akademisi dan pengusaha.
Sedangkan masyarakat sipil, mahasiswa, hingga korban eksploitasi sumber daya alam tidak diajak berdiskusi. Ia pun beranggapan bahwa legislatif dan pemerintah berpihak kepada pengusaha.
Semestinya, pemerintah dan legislatif mendengarkan aspirasi dari masyarakat sipil, masyarakat adat, masyarakat korban yang terdampak di sekitar daerah tambang, termasuk keluarga korban puluhan anak yang meninggal di lubang tambang.
"Jadi jangan menyuruh masyarakat baca draft-nya, padahal tidak pernah diserahkan ke masyarakat," katanya.
Peneliti Auriga Hendrik Siregar menilai pembahasan RUU Minerba secara kilat memiliki kesan balas utang budi selama proses kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres). Tidak hanya itu, RUU Minerba dinilai mengakomodir pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) yang masa kontraknya akan habis.
“Kita tahu hampir semua perusahaan tambang membiayai Pilpres," ujar Hendrik. Apalagi, beberapa perusahaan tambang besar akan habis kontraknya dalam waktu dekat.
(Baca: Percepatan Pembahasan RUU Minerba Dituding Terkait Hasil Pilpres)
Dalam proses pembahasan sebelumnya, Hendrik menyebutkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Minerba dikembalikan lantaran belum adanya harmonisasi antar kementerian. Bahkan pada rapat terakhir, Kementerian Perindustrian belum menandatangani DIM tersebut karena masalah perizinan yang tumpang tindih antar kementerian.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menilai substansi RUU Minerba cacat dari segi komposisi. Menurutnya, RUU Minerba hanya memfasilitasi pengusaha dan industri pertambangan.
“Jika seperti ini, DPR seperti hanya jadi industri legislasi yang memfasilitasi kepentingan oligarki,” kata Merah.
Tambahan pasal 115A menyebutkan, siapa pun, termasuk masyarakat terdampak, yang mencoba menolak dan tidak setuju dianggap menghalangi proses pertambangan bisa berhadapan dengan proses hukum alias dikriminalisasi.
Jatam mencatat, dalam tiga tahun terakhir terdapat 85 kasus warga yang dikriminalisasi karena mempertahankan hak-haknya berkonflik dengan perusahaan tambang.
Pembahasan RUU Minerba pun diharapkan dapat segera ditarik oleh pemerintah dan DPR. "Tarik dulu, diskusikan bersama dengan masyarakat," ujar Merah.
(Baca: Apresiasi Demonstrasi, Jokowi Bakal Temui Mahasiswa Jumat Besok)