Menimbang Efek Berantai dan Ongkos Besar Gasifikasi Batu Bara

Kristaps Eberlins/123RF
Ilustrasi. Proyek gasifikasi batu bara dianggap terlalu mahal untuk menggantikan impor elpiji.
11/11/2020, 14.56 WIB

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat proyek gasifikasi sangat bergantung pada belanja modal dan pasokan batu bara. Kedua aspek itu yang kemudian menentukan harga produknya.

IEEFA menunjukkan biaya produksi DME sebesar US$ 470 per ton, sedangkan elpiji US$ 365 per ton. Biaya produksi dimethyl ether itu berdasarkan asumsi harga batu bara Indonesia sebesar US$ 37 per ton.

Harga batu bara acuan saat ini tertekan karena menurunnya permintaan di tengah pandemi Covid-19. Angkanya masih di atas US$ 50 per ton. Pada Oktober 2020, Kementerian ESDM mencatat harganya di US$ 51 per ton.

Fabby mengatakan proyek DME milik Bukit Asam awalnya digagas pada 2017 hingga 2018 lalu. Ketika itu harga elpiji sekitar US$ 550 hingga US$ 580 per ton. Pemerintah juga menghadapi kondisi defisit neraca perdagangan karena nilai impornya yang naik dari tahun ke tahun.

Namun, sejak awal tahun ini harga minyak dan produk turunannya menurun. “Dengan anjloknya harga LPG maka menjadi pertanyaan apakah proyek DME ini masih dianggap layak dan menguntungkan," ujarnya.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat keekonomian proyek menjadi salah salah satu penghamat belum berkembangnya DME di Indonesia. Selain butuh investasi besar, harga jual produk dan pasarnya pun belum jelas.

Pemerintah memang memberikan insentif berupa royalti 0% untuk hilirisasi batu bara sesuai dengan UU Cipta Kerja. Harapannya, pemanis ini dapat membantu keekonomian dan mendorong investasi. “Saya kira kajian IEEFA tidak salah dengan kondisi saat ini karena memang investasi DME sangat mahal,” katanya.

Proyek Hilirisasi Ganggu Mafia Impor?

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi menilai merealisasikan proyek gasifikasi batu bara tidaklah mudah. Banyak tantangan karena berkaitan dengan upaya pemerintah menekan impor LPG. "Ada pihak yang kenyamanan terganggu karena pundi-pundi uangnya akan berkurang, bahkan hilang dari kebijakan-kebijakan strategis ini," kata dia.

Hal ini, menurut dia, terlihat dari kurang optimalnya proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi impor. Misalnya, pembangunan kilang minyak, pabrik pemurnian (smelter) tambang, dan energi terbarukan, yang masih minim progress pembangunannya.

Presiden Jokowi pada tahun lalu sudah teriak-teriak untuk memberantas mafia impor minyak dan LPG. Namun, hingga kini tidak juga terungkap, apalagi terselesaikan. "Dulu Ahok (Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama) diharapkan bisa mengurus ini. Nyatanya tidak ada perubahan," ucapnya.

Senada dengan pendapat itu, Mamit juga menilai ada pihak-pihak yang terganggu dengan rencana proyek gasifikasi tersebut. Apalagi saat ini impor LPG Indonesia luar biasa besar. "Saya kira pemerintah harus benar benar firm dalam menjalankan program ini. Kajian tetap harus dilakukan secara maksimal mengenai dampak dari DME," ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian ESDM menyampaikan DME merupakan bahan bakar yang dapat menggantikan elpiji. Pemerintah pun telah menghitung kebutuhan batu bara untuk memproduksi DME.

Setiap enam juta ton batu bara yang diubah menjadi DME dapat menurunkan impor elpiji sebesar 1 juta ton per tahun. Adapun cadangan batu bara Indonesia mencapai 20 miliar ton. Cadangan batu bara tersebut mayoritas berkalori yang rendah sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh pembangkit listrik.

Pemerintah menilai perlu memanfaatkan batu bara kalori rendah menjadi DME. "Kita punya batu bara yang pemanfaatannya belum jelas," ujar Dadan Kusdiana yang saat ini menjabat sebagai Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.

Kajian teknis produksi DME melalui batu bara terus pemerintah lakukan. Langkah ini sebagai upaya menyelaraskan kewajiban hilirisasi yang tertuang dalam UU Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara alias UU Minerba.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan