Berlapis Masalah Blok Masela Jelang Tutup Tahun

123rf.com/jossdiim
Pengembangan Blok Masela terhambat setelah Shell hengkang dari proyek itu dan belum ada kepastian pembeli gas.
23/12/2020, 16.36 WIB

Kesalahan pemilihan lokasi dalam pengembangan Blok Masela juga sempat disinggung kembali oleh Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam kanal Youtbe Karni Ilyas Club, pria yang akrab disapa JK itu bercerita mandeknya pengembangan blok migas itu lantaran pemindahan fasilitas LNG-nya. Padahal, dengan fasilitas di laut,  blok itu dapat beroperasi pada 2024.

JK menyesalkan usulan Rizal tersebut. Dengan kebijakan sekarang, negara malah mengalami kerugian US$ 5 miliar. “Karena sistemnya cost recovery (pengembalian biaya operasi). Kalau biaya naik jadi US$ 5 miliar, negara yang tanggung,” kata JK pada November lalu.

Ilustrasi fasilitas LNG.  (KATADATA/)

Kepastian Pembeli Gas Penentu Blok Masela

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto memperkirakan tahun depan pengembangan Blok Masela akan tetap berjalan. Misalnya, Inpex menjalankan komitmen-komitmen aktivitas dan investasi yang telah disetujui dalam PoD.

Namun, penentu kelanjutan proyek itu adalah ada atau tidaknya kepastian pembeli gas. Termasuk pasar ekspor dan dalam negeri. "Jadi, yang terus harus berprogres secara konkrit dan progresif bukan hanya operator, tetapi juga pemerintah," kata dia.

Pada awal Desember ini, Inpex dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) baru saja menandatangani nota kesepahaman (MoU) jual-beli gas Blok Masela. Keduanya sepakat memanfaatkan sumber daya alam secara efektif untuk kepentingan domestik.

Kesepakatan ini menjadi titik awal kedua belah pihak memulai pembahasan penjualan dan pembelian gas bumi dari Proyek LNG Abadi Blok Masela. Penandatangannya dilakukan di sela acara 2020 International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas (IOG 2020)

Pada acara itu, Presiden Direktur Inpex Masela Akihiro Watanabe dan Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN Syahrial Mukhtar melakukan tanda tangan, disaksikan Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.

Sebelumnya, pada Februari lalu, Inpex juga telah menandatangani MoU dengan PLN dan Pupuk Indonesia untuk memasok kebutuhan gas ke pembangkit listrik tenaga gas dan kilang co-production.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai belum ada kemajuan yang pasti dalam pengembangan Blok Masela. Bahkan malah mengalami mundur dari target yang ditetapkan.

Apalagi, ke depan akan banyak proyek-proyek LNG yang akan onstream berbarengan. Pasar gas alam cair akan sangat penuh dan jenuh. Persaingan harga akan semakin ketat.

Ia berpendapat intervensi pemerintah dalam pengembangan proyek Masela sangat kurang, terutama dalam hal mencari pembeli gas di pasar internasional. Seharusnya pemerintah bisa lebih aktif lagi memasarkan LNG blok tersebut.

Pertamina, menurut dia, merupakan partner yang pas mendampingi Inpex. Perusahaan pelat merah migas itu sebenarnya sudah menyatakan minatnya. Namun, tidak ada respon dari Inpex.

zSKK Migas pun telah mempersilakan Pertamina mengikuti tender hak partisipasi blok tersebut. Saat kelanjutan proses ini, Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) enggan menjawab. "Check ke direksi," ujarnya.

Sebagai informasi, produksi Blok Masela penting untuk mengatasi defisit neraca gas yang diproyeksi bakal terjadi pada 2025. Defisitnya diperkirakan mencapai 206,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Proyeksi neraca gas terlihat pada grafik Databoks berikut ini. 

Pemerintah berharap Blok Masela dapat memberikan kontribusi tambahan produksi gas bumi setara 10,5 juta ton per tahun (MTPA). Produksinya terdiri dari 9,5 juta ton LNG per tahun dan gas pipa sebesar 150 juta standar kaki kubik per hari.

Selain produksi migas, pengembangan blok itu diharapkan dapat menciptakan efek berganda bagi industri pendukung dan turunan di dalam negeri dalam rangka mendukung perekonomian nasional. Berdasarkan data SKK Migas, produk domestik bruto (PDB) bakal mencapai US$ 153,6 miliar atau sekitar Rp 2.135 triliun selama Blok Masela memproduksi gas dari 2022 sampai 2055.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan