Pemerintah tidak akan memberikan izin proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru setelah 2025. Ketika masa itu tiba, industri batu bara nasional akan memasuki masa-masa kritisnya. Seluruh negara telah meratifikasi Perjanjian Paris untuk Perubahan Iklim, dan sepakat untuk menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca.
Ini mendorong perbankan di seluruh dunia mengetatkan atau bahkan menyetop pembiayaan untuk proyek penambangan atau pembangkit listrik fosil, terutama batu bara. Bahkan banyak perusahaan Engineering, Procurement & Construction (EPC) yang tidak lagi mau terlibat pada pembangunan PLTU.
"Ini harus dipetakan dengan detail dan dipersiapkan segera agar sektor pertambangan tidak terjadi over investment jika akan dikurangi ke depannya, perlu waktu dan bukan mendadak," kata Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo kepada Katadata.co.id, Senin (31/5).
Menurut Singgih pemerintah perlu meletakkan masalah ini dengan serius. Pasar ekspor batu bara Indonesia hampir 54% masih didominasi oleh Tiongkok dan India. Kebutuhan batu bara nasional bahkan sampai 2025 dan seterusnya masih berkutat di kisaran 25% sampai 30% dari total produksi nasional.
Sehingga perlu juga ratifikasi komitmen internasional, perbankan, pasar ekspor sebatas Tiongkok dan India, dan jumlah pelaku pertambangan di Indonesia. Tanpa pemetaan detail dan indikasi yang disampaikan sejak awal akan menyebabkan rusaknya lingkungan akibat tambang yang ditinggalkan tanpa persiapan matang.
Tiongkok sendiri telah memiliki rencana lima tahun ke depan (2021-2025). Puncak pemanfaatan batu bara negeri panda akan terjadi di 2025, setelah itu justru akan membatasi dan bahkan akan menurunkan pemanfaatan batu bara.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebesar 18,3% pada kuartal I 2021 masih memungkinkan untuk mendongkrak kebutuhan batu bara dalam target lima tahun pertama. Pada 2025 Negeri Panda akan membatasi konsumsi batu bara maksimal 4,2 miliar ton.
Pada tahun-tahun berikutnya bauran energi batu bara akan terus diturunkan menjadi 56,8% dari 68% pada dekade sebelumnya. Hal sama juga terjadi di India, mengingat India juga dengan cepat akan memperbanyak pembangunan energi terbarukan untuk menekan emisi yang terjadi.
Sementara Vietnam, bisa jadi dapat menambah pasar ekspor Indonesia, namun pertumbuhan Vietnam tidak akan mempu menyerap hilangnya potensi Tiongkok dan India setelah 2025. Pasalnya pasar Vietnam diperkirakan hanya akan menyerap sekitar 30 juta ton batu bara.
"Negara lainnya seperti Korea Selatan, Malaysia dan lainnya, akan sangat konservatif dalam menaikkan penggunaan batu baranya," kata Singgih.
Masih Ada Peluang dari Pasar Domestik
Sementara pasar batu bara di dalam negeri, PLN telah memproyeksikan seluruh kebutuhan batu bara baik untuk PLTU PLN maupun Independent Power Producer (IPP) sebesar 167,37 juta ton sampai 2030. Rinciannya PLTU PLN 60,04 juta ton dan IPP 98,32 juta ton.
Pada 2025, tambahan permintaan dari proyek dimetil eter (DME) diperkirakan belum akan terasa. Baru pada 2026 ada kemungkinan tambahan permintaan dari PT Bukit Asam dan dari proyek metanol PT Arutmin Indonesia. Keduanya diperkirakan baru bisa menyerap sekitar 13 juta ton.
Diproyeksikan ada sembilan perusahaan pertambangan yang diharapkan memilih DME sebagai pilihan peningkatan nilai tambah (PNT) dalam proposal pengajuan perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Sembilan perusahaan pemegang IUPK ini diproyeksi memproduksi 12 juta ton DME per tahun hingga 2039.
Ini diharapkan meningkatkan konsumsi batu bara di dalam negeri sebesar 50 juta ton per tahunnya. Namun sampai 2030, diproyeksikan sebatas enam perusahaan perpanjangan yang akan dapat merealisasikan proyek DME yang menambah serapan batu bara sekitar 35 juta ton.
Dengan demikian pasar batu bara di dalam negeri ke depannya masih cukup terbuka. Ini karena masih ada PLTU batu bara yang beroperasi, PLTU batu bara yang masuk ke tahap comissioning, serta yang telah memasuki tahap EPC dan financial closing.
"Kebijakan DMO harus terus diperbaiki, agar komitmen pasokan ke pasar domestik dapat berjalan dengan baik," ujarnya. "Kementerian ESDM harus mulai mengantisipasi kondisi 2025 ke depan. Harus segera komunikasi formal dengan Tiongkok, India dan negara lainnya untuk mendapat data akurat atas kebijakan impor batu bara."
Terutama atas arah kebijakan bauran energinya yang memberi dampak langsung pada pengurangan potensi ekspor batu bara Indonesia.
"Ini sangat strategis, mengingat industri tambang bukan industri yang dapat digas dengan cepat dan direm secara mendadak, semua memerlukan perhitungan dalam konteks penerapan good mining practice, untuk menghindari rusaknya lingkungan," katanya.
Sementara, Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso kurang setuju dengan kebijakan moratorium proyek PLTU baru pada 2025 mendatang. Pasalnya daya beli Indonesia masih rendah, dan pemerintah masih melakukan subsidi terhadap sektor energi.
Konsumsi listrik perkapita Indonesia masih rendah jika dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sementara elastisitas energi Indonesia masih tinggi, boros energi. Sedangkan hilirisasi batu bara jika masih dalam bentuk energi maka keekonomiannya masih rendah, apalagi efisiensi energinya.
"Kalau masalah emisi CO2 kenapa tidak memilih, membakar batu bara dan menanam pohon. Mendapat manfaat buah dan batangnya, seperti yang dilakukan Tiongkok," kata dia.