PLN telah mendapat pasokan gas dari PGN untuk pembangkit listrik tenaga minyak dan gas (PLTMG) Nias di Gunungsitoli, Sumatera Utara. Konversi ke gas akan mengurangi konsumsi BBM di pembangkit tersebut sehingga menghemat biaya pembangkitan listrik.
Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo menjelaskan, PGN akan mulai memasok gas untuk pembangkit berkapasitas 25 megawatt (MW) itu dari Arun, Aceh pada 2022. Untuk itu, PLN dan PGN tengah merampungkan konstruksi seluruh infrastruktur pendukung distribusi gas, salah satunya adalah pembangunan jetty.
Menurut Rudy, dua perusahaan pelat merah ini telah mencapai kesepakatan terkait langkah gasifikasi untuk mendukung proyek tersebut. Dalam proses gasifikasi, kedua belah pihak juga turut membahas mengenai lokasi dan potensi pengembangan penggunaan gas yang lebih realistis ke depan.
"Kami juga meninjau kendala-kendala apa yang memungkinkan terjadi agar implementasinya menjadi efisien dan efektif," kata Rudy dalam keterangan tertulis, Kamis (16/9).
Untuk memastikan ketersediaan infrastruktur gas yang memadai, Rudy bersama Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGN Heru Setiawan dan Direktur Infrastruktur dan Technology PGN Achmad Muchtasyar, melakukan survei sekaligus mengecek langsung kondisi infrastruktur di PLTMG 25 MW.
Menurut dia kedua belah pihak terus melakukan diskusi dan pembahasan terkait tantangan dari penyerapan gas di PLTMG Nias ini. "Tadi kita lihat di sini ternyata memang butuh terkait dengan proses unloading berarti untuk jetty menjadi kendala utama, yang lainnya saya rasa bisa menyesuaikan," kata Rudy.
Jika gasifikasi ini selesai, PLN diperkirakan dapat menghemat setidaknya lebih dari 5% dari operasional bahan bakar pembangkit. Di satu sisi, efisiensi bisa lebih didapatkan dengan ketersediaan alokasi gas yang lebih dekat dari pembangkit.
"Karena dengan penggunaan gas ini, selain lebih positif di lingkungan juga terkait dengan optimasi kita di beban Nias ini memang butuh infrastruktur itu, efisiensinya bisa mencapai 5%," katanya.
Gasifikasi PLTMG Nias merupakan implementasi program konversi 52 pembangkit listrik tenaga diesel PLN ke gas yang sebelumnya disebut jalan di tempat. Perusahaan setrum pelat merah mengatakan persoalannya adalah harga gas yang dikunci di US$ 6 per juta British thermal unit (mmbtu), tak ekonomis bagi PGN sebagai pemasok.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan pihaknya berkomitmen mengganti sejumlah pembangkit listrik BBM menjadi bahan bakar gas. Hal tersebut menyusul terbitnya Keputusan Menteri ESDM No. 13 Tahun 2020 tentang gasifikasi pembangkit tenaga listrik.
Konversi pembangkit diesel ke gas ini bertujuan untuk dapat mengurangi biaya pembangkit PLN dan mengurangi impor BBM. Namun dengan menggunakan infrastruktur seperti unit regasifikasi seperti FSRU (floating storage regasification unit) milik PGN membuat biaya pembangkitan menjadi mahal.
"Karena volume di setiap lokasi itu kecil, maka total listrik ditambah gas jatuhnya lebih mahal dari diesel. Karena ini ditugaskan ke PGN, PGN gak bisa memenuhi hal itu," kata dia beberapa waktu lalu.
Haryadi mengatakan harga gas yang sudah dikunci di angka US$ 6 per mmbtu tidak wajar di fasilitas FSRU PGN. Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri dalam menjalankan program ini.
"Mungkin ada insentif untuk harga FSRU ini bisa dipakai. Sehingga harga midstream ini bisa lebih rendah untuk menggantikan diesel yang lebih murah. Kami juga serba sulit, ganti gas malah lebih mahal dari diesel," katanya.