Banggar DPR Lebih Setuju Subsidi Motor Listrik Daripada Mobil Listrik

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU
Pekerja memeriksa motor listrik yang dijual di salah satu showroom motor listrik di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
19/12/2022, 12.55 WIB

Badan Anggaran (Banggar) DPR menyoroti rencana pemerintah untuk bagi-bagi insentif atau subsidi untuk mendorong penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), baik mobil listrik maupun motor listrik.

Namun Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberi prioritas subsidi motor listrik, baik motor listrik baru atau konversi. Langkah ini dinilai lebih positif ketimbang menyalurkan subsidi mobil listrik.

Said beranggapan, subsidi motor listrik untuk pembelian baru ataupun konversi dapat mempecepat target pemerintah untuk menurunkan tingkat emisi karbon dan gas rumah kaca yang berasal dari pembakaran energi fosil. Menurut Said, polusi yang ditimbulkan dari pembakaran 1 liter BBM dapat menghasilkan 2.140 kg CO2.

Selain itu, langkah ini dinilai sebagai cara yang efektif untuk menekan beban negara dari alokasi subsisi dan impor BBM. "Motor listrik itu sudah menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya tidak ujug-ujug mobil listrik dan mobil hybrid," kata Said dalam Energy Corner CNBC pada Senin (19/12).

Lebih lanjut, penyaluran insentif menurut Said bakal lebih efektif jika diberikan langsung kepada calon pembeli daripada diarahkan kepada pabrikan atau produsen. Sebab produsen kendaraan listrik telah memperoleh beragam stimulus seperti pembebasan pajak pertambangan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) 0%.

Selain itu, pabrikan juga telah memperoleh pembebasan bea masuk 0% untuk impor dan insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) 0%.

"Insentif ini langsung diberikan kepada konsumen, tidak lagi kepada pabrikan. Jangan seperti subsidi yang selama ini berjalan di pupuk atau LPG yang subsidinya kepada korporasi, seharusnya subsidi itu langusung diterima masyarakat by name by address," ujar Said.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan pemerintah perlu mengatur regulasi ketat perihal penyaluran insentif terhadap pengadaan kendaraan listrik.

"Sebelum bicara soal besaran angka insentif, pemerintah harus menetapkan standar soal ketentuan kendaraan listrik yang akan mendapatkan insentif harus diperjelas. Misalnya ukuran kapasitas mesinnya, apakah 1,5 KWh dan juga baterai apakah 2 KWh," kata Fabby," kata Fabby.

Selain mengatur standar kapasitas mesin dan baterai, barometer alokasi penyaluran insentif juga bisa dilihat dari hitung-hitungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang terkadung dalam suatu produk kendaraan listrik.

Menurut Fabby, upaya ini bisa menjadi salah satu cara untuk mendorong perkembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri, khususnya pada penyediaan suku cadang dan baterai. "Harus jelas juga TKDN-nya untuk mendorong industri kendaraan listrik di dalam negeri itu untuk tumbuh," ujarnya.

Insentif Kendaraan Umum Untuk Tekan Kemacetan

Senada dengan Said, Fabby juga mendorong pemerintah untuk mengutamakan alokasi subsidi untuk motor listrik ketimbang mobil listrik.

Insentif tersebut sebaiknya dialokasikan untuk menambah kendaraan umum listrik serta infrastruktur penunjang berupa Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU).

Selain mengakselerasi pengadaan kendaraan massal bersih, langkah ini dinilai sebagai cara ampuh untuk mengurangi kemacetan di kota besar seperti DKI Jakarta.

Adapun Jakarta Smart City pernah membuat proyeksi data perbandingan panjang jalan yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Hitung-hitungan ini melibatkan asumsi 100 orang yang ada di dalam kendaraan.

Apabila 100 orang ini masing-masing naik kendaraan pribadi, maka panjang jalan yang dibutuhkan adalah sekira 510 meter untuk mobil, dengan asumsi jarak antar mobil satu meter. Sedangkan dibutuhkan panjang jalan sekira 85 meter untuk pengendara sepeda motor dengan asumsi jarak antarsepeda motor 50 centimeter.

Di sisi lain, hanya butuh satu unit bus Maxi Transjakarta yang memiliki kapasitas daya angkut hingga 100 penumpang. Satu unit bus ini hanya memakan panjang jalan 13,5 meter di satu lajur jalan.

"Ketimbang memberikan insentif untuk mobil listrik, sebaiknya pemerintah mengalokasikan untuk mobil penumpang bus listrik sebagai angkutan publik, dan membangun infrastruktur-nya. Rencana pengadaan 1.000 bus listrik ini perlu juga kembali didorong sehingg kota-kota itu punya angkutan massal yang bersih," ujar Fabby.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan bahwa pemerintah sedang tahap finalisasi untuk menghitung pemberian insentif mobil dan motor listrik. Insentif tersebut akan diberikan kepada konsumen yang membeli kendaraan listrik buatan pabrik di Indonesia.

Adapun hitung-hitungan pemberian insentif tersebut berdasarkan kajian dan perbandingan dari negara lain yang memiliki kemajuan dalam industrik kendaraan listrik.

"Contoh negara Eropa, mereka lebih maju karena pemerintah berikan insentif. Kalau kita lihat, Cina dan Thailand juga berikan insentif," kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, melalui video pernyataan yang dikutip Kamis (15/12).

Agus menjabarkan, insentif yang bakal dialokasikan untuk pembelian mobil listrik berbasis kendaraan baterai senilai Rp 80 juta per unit dan mobil berbasis hybrid sejumlah Rp 40 juta per unit.

Lebih lanjut, untuk insentif kendaraan roda dua, pemerintah menjatah Rp 8 juta untuk tiap unit motor listrik baru dan Rp 5 juta untuk motor konversi dari konvensional ke listrik.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu