Raksasa minyak Arab Saudi, Saudi Aramco, melaporkan rekor raihan laba bersih sebesar US$ 161,1 miliar atau sekitar Rp 2.478 triliun atau Rp 2,49 kuadriliun pada 2022, naik 46% dibandingkan tahun sebelumnya. Rekor laba didorong oleh harga energi yang tinggi serta peningkatan volume penjualan.
Capaian tersebut sedikit lebih besar dari pendapatan negara Indonesia dalam APBN 2023 yang ditargetkan sebesar Rp 2.463 triliun. Jika dibandingkan dengan raksasa migas dunia lainnya seperti Chevron, ExxonMobil, BP, Shell, hingga Equinor, laba Saudi Aramco lebih besar 2-6 kali lipat.
Padahal, laba yang dicetak raksasa migas asal Amerika Serikat (AS), Inggris, hingga Norwegia itu merupakan rekor tertingginya dalam sekitar 100 tahun terakhir, seiring dengan tingginya harga minyak dan pulihnya permintaan energi pascapandemi.
Harga minyak berayun liar pada tahun 2022, naik di tengah kekhawatiran geopolitik di tengah perang di Ukraina, kemudian meluncur turun karena melemahnya permintaan dari importir utama Cina dan kekhawatiran kontraksi ekonomi global.
“Mengingat bahwa kami mengantisipasi minyak dan gas akan tetap penting di masa mendatang, risiko kurangnya investasi di industri kami adalah nyata – termasuk berkontribusi terhadap harga energi yang lebih tinggi,” kata CEO Aramco Amin Nasser dikutip Reuters, Senin (13/3).
“Untuk mengatasi tantangan tersebut, perusahaan berinvestasi dalam teknologi rendah karbon baru dengan potensi untuk mencapai pengurangan emisi tambahan,” kata Nasser menambahkan.
Dalam pernyataannya Saudi Aramco menyebutkan bahwa rencana untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak mentah menjadi 13 juta barel per hari (bph) pada tahun 2027 sudah sesuai rencana.
Di sisi lain belanja modal Aramco naik 18% menjadi US$ 37,6 miliar pada tahun 2022 dan perusahaan memperkirakan pengeluaran tahun ini sekitar US$ 45-55 miliar termasuk investasi eksternal. Aramco mengumumkan dividen sebesar US$ 19,5 miliar untuk kuartal keempat, naik 4% dari kuartal sebelumnya.
Harga minyak melonjak pada Maret tahun lalu karena invasi Rusia ke Ukraina meningkatkan aliran minyak mentah global, dengan patokan internasional Brent mencapai US$ 139,13 per barel, tertinggi sejak 2008. Harga mendingin dengan cepat pada paruh kedua tahun 2022 karena bank sentral menaikkan suku bunga dan memicu kekhawatiran resesi.
Aliansi produsen minyak OPEC+, yang dipimpin oleh Arab Saudi, sepakat tahun lalu untuk memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari dari November hingga akhir 2023 untuk mendukung pasar.
Keputusan tersebut menuai kritik keras dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, tetapi dinamika pasar sejak saat itu telah menunjukkan bahwa pemotongan tersebut dilakukan dengan hati-hati dengan harga minyak melayang mendekati US$ 80 per barel dari level tertinggi di atas US$ 100 pada 2022.
Nasser mengatakan bahwa pasar minyak akan tetap seimbang dalam jangka pendek hingga menengah. Kapasitas cadangan tetap ketat di 2 juta barel per hari, sementara permintaan bahan bakar jet meningkat bersamaan dengan pembukaan kembali Cina dari pembatasan ketat Covid-19.
"Jika Anda mempertimbangkan Cina membuka dan mengambil bahan bakar jet dan kapasitas cadangan yang sangat terbatas, kita berbicara tentang 2 juta barel, jadi seperti yang saya katakan kami sangat optimis dalam jangka pendek hingga menengah dan pasar akan tetap seimbang," kata dia.