Kementerian Perdagangan (Kemendag) bakal membahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) awal pekan depan (9/12). Asosiasi berharap, pemerintah menyosialisasikan aturan terlebih dulu sebelum menerbitkannya.
Ketua idEA Ignatius Untung mengaku belum tahu rincian agenda pertemuan tersebut. Karena itu, ia enggan berkomentar banyak perihal PP e-commerce itu sebab baru akan dibahas mendalam pekan depan.
“Tetapi, untuk prosesnya, kami berharap ke depannya bisa tahu dan diskusi dengan pemerintah sebelum aturan semacam ini diterbitkan,” kata Ignatius kepada Katadata.co.id, hari ini (6/12).
Direktur Shopee Indonesia Handhika Jahja mengatakan, perusahaannya tengah berdiskusi dengan idEA dan e-commerce lainnya terkait aturan tersebut. Baru kemudian membahas PP itu dengan pemerintah awal pekan depan.
Ia berharap, pemerintah tidak membuat kebijakan yang menyulitkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) untuk berkembang, terutama yang baru memulai. “Karena itu komitmen yang kami bawa,” kata Dhika di Jakarta.
(Baca: PP E-Commerce Terbit, Asosiasi Pengusaha Sebut Demi Keadilan)
Dhika menilai, aturan itu lebih cocok untuk e-commerce yang model bisnisnya Business to Costumer (BtoC). Karena mitra yang berjualan di platform-nya merupakan perusahaan menengah besar.
Sedangkan model bisnis Shopee Costumer to Costumer (CtoC), di mana pemilik usaha kecil dan individu bisa berjualan di platform-nya. Selain itu, PP e-commerce belum memuat secara rinci terkait penegakan aturan untuk pedagang online yang berjualan di media sosial atau aplikasi percakapan.
Menurut dia, kebijakan saat ini sudah mendukung UMKM di Indonesia. “Yang sekarang sudah oke. Bagaimana kami bisa membantu lagi penjual yang lebih kecil untuk memulai (bisnis). Jadi dimudahkan, bukan dipersulit,” kata Dhika.
(Baca: Bukalapak dan Tokopedia Sebut PP E-Commerce Jadi Tantangan UMKM)
Bukalapak dan Tokopedia juga menilai, PP e-commerce itu akan menjadi tantangan tersendiri bagi UMKM dalam mengembangkan bisnisnya. Sebab, pada pasal 15 disebutkan bahwa pelaku usaha wajib memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan usaha PMSE.
Pengajuan izin usaha itu dapat melalui Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). “PP itu akan menjadi tantangan bagi UMKM,” kata AVP of Public Policy and Government Relations Bukalapak Bima Laga kepada Katadata.co.id, kemarin.
Hal senada disampaikan oleh Vice President of Corporate Communications Tokopedia Nuraini Razak. “Aturan ini perlu dipertimbangkan karena tidak sejalan dengan visi Republik Indonesia untuk mendorong kemudahan berbisnis dan pertumbuhan UMKM baru,” kata dia.
Nuraini mengatakan, aturan ini hanya memperbolehkan pengusaha besar dan memiliki izin usaha yang berjualan online. Ia khawatir hal ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah mempermudah masyarakat berbisnis secara online.
“Padahal, kemudahan berbisnis online, pengusaha yang awalnya sampingan atau coba-coba, akhirnya bisa jadi usaha serius dan kemudian memiliki izin,” kata Nuraini.
(Baca: Blibli Dukung PP E-Commerce, Shopee: Kaji Aturan Kontra UKM Naik Kelas)
Perusahaan e-commerce yang model bisnisnya CtoC pun harus melakukan penyesuaian terkait verifikasi pedagang. Sebab, hanya mitra skala besar dan memiliki izin yang diperbolehkan.
Sedangkan Head of Legal and Regulatory Blibli.com Yudhi Pramono mendukung PP E-Commerce tersebut. Blibli.com merupakan perusahaan e-commerce dengan model bisnis BtoC.
Blibli.com sudah menerapkan sistem kurasi atau proses Know Your Customer (KYC) untuk para mitra penjual yang telah dan akan berjualan di Blibli.com. Para merchant wajib memiliki syarat kelengkapan dokumen seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan surat izin usaha jika ada.
(Baca: Kemenkeu Sebut Pajak e-Commerce Bakal Diatur dalam Omnibus Law)