Tren Perusahaan ‘Cek Kosong’ di Asia dan Kans Unicorn RI IPO pada 2021

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
23/12/2020, 18.11 WIB
  • Setelah tren di AS dan Eropa, startup Asia Tenggara mulai mengkaji IPO lewat SPAC
  • Unicorn Indonesia berpotensi IPO pada tahun depan
  • Tokopedia dan LinkAja dikabarkan berencana IPO pada 2021

Startup Asia Tenggara mulai mengkaji penawaran saham perdana atau IPO lewat perusahaan cek kosong alias SPAC, termasuk di Indonesia. Ini lebih dulu tren di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, sehingga mendorong banyak startup IPO.

Di Indonesia, dua unicorn yakni Tokopedia dan Traveloka mengkaji IPO lewat SPAC atau perusahaan akuisisi bertujuan khusus. Sedangkan investor Grab, SoftBank mengajukan izin pendirian SPAC untuk mengumpulkan US$ 525 juta.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee tidak menjelaskan apakah SPAC berpotensi mempercepat IPO para unicorn Tanah Air. Namun, “mungkin saja tahun depan,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (23/12). “Kalau syarat dipermudah, mungkin mereka masuk pasar.”

SPAC mempermudah startup untuk menjadi perusahaan terbuka. SPAC disebut perusahaan cek kosong karena tidak memiliki operasi apa pun. Perusahaan jenis ini merupakan sarana investasi yang dibuat khusus untuk mengumpulkan dana para orang kaya.

Selanjutnya, dana itu dipakai untuk membiayai peluang merger atau akuisisi dalam jangka waktu yang ditetapkan. Tapi, target perusahaan yang dimerger atau diakuisisi biasanya belum diidentifikasi.

Jadi, IPO SPAC digunakan untuk menyelesaikan kesepakatan masa depan dengan perusahaan tertentu. Korporasi yang diakuisisi atau merger otomatis menjadi perusahaan publik, tanpa melalui proses penjang.

Keuntungan IPO lewat SPAC (CB Insights)

Salah satu SPAC yang mengincar startup Asia Tenggara yakni Bridgetown Holdings Ltd. Perusahaan yang didukung oleh miliarder Richard Li dan Peter Thiel ini mengumpulkan US$ 550 juta dari IPO pada Oktober lalu.

IPO itu disebut-sebut bertujuan mengakuisisi Tokopedia. Bridgetown dikabarkan mengkaji merger dengan unicorn e-commerce tersebut.

Selain Tokopedia, Indonesia memiliki tiga unicorn atau startup dengan valuasi US$ 1 miliar lebih yaitu Traveloka, Bukalapak, dan OVO. Lalu, ada satu decacorn atau bervaluasi lebih dari US$ 10 miliar, yakni Gojek.

Meski dua di antaranya sudah mengkaji IPO lewat SPAC, Hans mengatakan ada beberapa hal yang dianalisis perusahaan sebelum menawarkan saham perdana pada tahun depan. Salah satunya, mengukur optimisme pasar. “Kalau optimistis, kemampuan menyerapnya tinggi,” katanya. Namun, ini tergantung dari popularitas startup.

Selain itu, masih ada pandemi corona. Ia memperkirakan, pemberian vaksin virus corona membutuhkan waktu enam bulan hingga setahun.

Pertimbangan lainnya yakni pertumbuhan ekonomi. Sedangkan perekonomian Indonesia tumbuh negatif pada kuartal II dan III, sebagaimana Databoks di bawah ini:

Di satu sisi, perusahaan rintisan juga menghadapi hambatan dari sisi neraca keuangan. “Sebagian besar masih rugi, jadi yang ‘dijual’ yakni ekspektasi. Tantangannya meyakinkan kalau bisnis mereka bisa untung,” ujar Hans.

Kemudian, valuasi unicorn dan decacorn Indonesia besar. Angka per November 2019 tertera pada Databoks di bawah ini:

Oleh karena itu, Hans memperkirakan bahwa startup jumbo Tanah Air bakal banyak yang melantai di bursa saham luar negeri seperti AS. “Kalau di dalam negeri, bisa diserap oleh pasar atau tidak? Ini berisiko,” kata dia.

Selain itu, investor asing berminat terhadap startup jumbo. Oleh karena itu, ia menilai bahwa unicorn dan decacorn Tanah Air bakal IPO di dua bursa atau dual listing. “Bisa langsung melantai di keduanya,” ujar dia.

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna tak dapat berkomentar mengenai potensi IPO lewat SPAC di Tanah Air, karena belum ada yang mengajukan. Namun, "ada banyak kesempatan diskusi dengan para pendiri startup terkait IPO maupun investor seperti private equity dan modal ventura," kata dia, Kamis (24/12).

SPAC sendiri lebih dulu tren di AS dan Eropa. Secara global, jumlah IPO SPAC pada tahun ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan total setahun penuh 2019. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Di AS, startup yang IPO lewat SPAC yakni DraftKings, dan Virgin Galactic pada tahun ini. Di Negeri Paman Sam, 200 SPAC mengumpulkan sekitar US$ 64 miliar selama 2020.

Jumlah startup AS yang IPO (PitchBook)

(BACA JUGA: Mengenal SPAC, 'Kendaraan' Tokopedia untuk Tembus Bursa Saham AS)

Meski menjadi tren, SPAC menuai pro dan kontra di AS. Presiden sekaligus kepala global ETF di Defiance Paul Dellaquila menilai, perusahaan yang memasuki pasar melalui SPAC mengalami peningkatan kualitas.

Namun, kepala investasi dan direktur penelitian di ETF Trends and ETF Database Dave Nadig menilai risikonya besar. “Potensi keuntungan yang berlebih, jelas ada risiko yang sangat besar,” kata dia dikutip dari CNBC Internasional, awal Desember lalu (8/12).

Hal itu karena perusahaan yang diakuisisi oleh SPAC otomatis menjadi emiten, tanpa melalui proses penilaian yang panjang sebagaimana IPO tradisional.

Sisi negatif IPO lewat SPAC (CB Insights)

Meski begitu, Co-Founder sekaligus Managing Partner di Ideosource dan Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menilai bahwa peran sponsor SPAC sangat penting untuk menunjang kredibilitas dan jaringan ke investor. “Ini sama dengan posisi emiten menunjuk penjamin emisi (underwriter) yang tepat,” kata dia kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu (18/12).

Siapa Unicorn yang Berpotensi Lebih Dulu IPO?

Edward pun menilai, peluang startup Indonesia IPO lewat skema SPAC cukup menjanjikan, salah satunya Tokopedia. “Ini karena sudah ada preseden sebelumnya yakni Sea Group,” ujar dia.

Induk Shopee tersebut terdaftar di bursa saham Singapura, Frankfurt, Jerman, dan New York, AS. “Model bisnisnya sama dengan Tokopedia. Posisi unicorn Indonesia juga tidak kalah dibandingkan Shopee,” kata dia.

Sedangkan angka kunjungan ke platform Shopee dan Tokopedia di Indonesia dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Saat ini, kapitalisasi pasar Sea Group hampir US$ 100 miliar. Sedangkan merger Tokopedia dan Bridgetown disebut-sebut akan menghasilkan valuasi US$ 8 hingga US$ 10 miliar. “Ini dianggap potensial oleh investor di sana (AS),” katanya.

Selain itu, investor Grab dan Tokopedia yakni SoftBank mengajukan izin untuk mendirikan SPAC pada Senin lalu (21/12). “Ini memungkinkan kami bermitra dengan perusahaan teknologi siap IPO yang berkembang pesat,” kata perusahaan dalam dokumen pengajuan dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (22/12).

Presiden Tokopedia Patrick Cao pernah menyampaikan, perusahaan berencana IPO di dua bursa dalam tiga tahun ke depan, salah satunya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sedangkan opsi lainnya yakni AS.

Namun, sumber Reuters mengatakan bahwa Tokopedia berencana IPO di bursa saham AS dan BEI pada 2021. Sumber lain mengungkapkan, penawaran ini akan membuat valuasi perusahaan tembus US$ 10 miliar atau berstatus decacorn.

Sebelumnya, perwakilan Tokopedia mengatakan bahwa perusahaan telah menunjuk Morgan Stanley dan Citi sebagai penasihat untuk IPO. “Saat ini, kami belum memutuskan pasar dan metode untuk ini,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu pekan lalu (16/12). Salah satu opsinya melalui SPAC.

(BACA JUGA: Seperti Tokopedia, Traveloka Kaji IPO lewat Perusahaan "Cek Kosong")

Traveloka juga mengkaji opsi serupa. "SPAC merupakan salah satu opsi yang dievaluasi, karena kami telah didekati oleh beberapa orang," kata Presiden Traveloka Henry Hendrawan dalam pernyataan resmi dikutip dari Reuters, Senin (21/12).

Ia sempat menyampaikan bahwa Traveloka berencana IPO di dua bursa yakni Indonesia dan AS. Untuk bisa menjadi perusahaan publik, startup ini berfokus meraup untung.

Henry optimistis perusahaan akan mencapai titik impas (break even point/BEP) pada akhir tahun atau awal 2021, jika industri perjalanan pulih setidaknya 50% dibandingkan sebelum ada Covid-19. Selain itu, akan segera meraih keuntungan.

Bukalapak dan Gojek juga berencana IPO. Namun, keduanya enggan menanggapi permintaan komentar dari Reuters terkait potensi IPO lewat SPAC.

Sedangkan startup yang bersiap IPO pada tahun depan yakni LinkAja. Pada November lalu, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, kementerian berencana mendorong perusahaan teknologi finansial (fintech) pembayaran itu untuk mencatatkan saham perdana dalam satu hingga 1,5 tahun ke depan.

Sejauh ini, ada beberapa startup yang sudah melantai di bursa saham. Mereka di antaranya Surge Digital Ecosystem, Cashlez, Yelooo Integra Datanet, Tourindo Guide Indonesia, M Cash Integrasi, Digital Mediatama Maxima, Distribusi Voucher Nusantara, Kioson Komersial Indonesia, NFC Indonesia, dan Telefast Indonesia.

CEO BRI Ventures Nicko Widjaja mengatakan, pandemi Covid-19 memaksa industri modal ventura mengalibrasi ulang dan menjauh dari model growth-at-all-costs. Alhasil, mereka berfokus mendanai startup yang mampu mengukir pertumbuhan cepat, menguntungkan, dan berkelanjutan.

"Oleh karena itu, saya mengestimasi bahwa IPO merupakan salah satu opsi pendanaan untuk para startup agar bisa tumbuh berkelanjutan ke depan,” kata Nicko dikutip dari Antara, November lalu (11/11).

Reporter: Desy Setyowati, Antara, Ihya Ulum Aldin