Kontroversi Blokir Akun Media Sosial Trump dan Regulasi di Indonesia

123RF.com/macrovector
Ilustrasi
Penulis: Desy Setyowati
14/1/2021, 15.10 WIB
  • Twitter, Facebook, dan YouTube memblokir akun media sosial Donald Trump terkait kerusuhan di gedung Capitol, AS, pekan lalu (6/1).
  • Eropa dan Inggris menilai, perusahaan media sosial ‘berkuasa’ atas pemblokiran itu
  • Di Indonesia, beberapa warganet mengeluhkan konten yang ditandai atau diblokir

Langkah Twitter, Facebook, dan YouTube memblokir akun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait kerusuhan di gedung Capitol, Washington DC, menuai pro dan kontra. Sedangkan di Indonesia, pemerintah biasanya harus mengajukan permohonan terlebih dulu ke perusahaan media sosial untuk menutup akun atau menghapus konten.

Trump dituduh menghasut kerusuhan. Parlemen bahkan sepakat untuk memakzulkan pemimpin AS tersebut. “Ada 10 anggota Partai Republik yang mendukung pemakzulan,” demikian dikutip dari The New York Time, Kamis (14/1).

Akibat kerusuhan di gedung Capitol pekan lalu (6/1), Twitter memblokir akun @realDonaldTrump secara permanen. Alasannya, cuitan politisi Partai Republik ini dikhawatirkan memicu kekerasan lanjutan.

Facebook juga membekukan akun pemimpin AS itu hingga pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris sebagai Presiden dan Wakil Presiden yang baru pada 20 Januari. Perusahaan pun mempertimbangkan blokir permanen.

Pada Selasa (12/1), YouTube milik Google menyusul dengan menangguhkan channel Trump. Dengan begitu, saluran ini tidak dapat mengunggah video baru maupun siaran langsung minimal hingga tujuh hari.

Sejak pemblokiran tersebut, “nilai pasar Twitter dan Facebook turun US$ 51 miliar atau sekitar Rp 718,8 triliun,” demikian dikutip dari Business Insider, Rabu (13/1). Ini karena harga saham kedua perusahaan melorot.

USA-TRUMP/WALL (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria/WSJ/sa.)

Tindakan Twitter, Facebook, dan YouTube itu menimbulkan tanda tanya bagi pejabat Uni Eropa dan Inggris terkait regulasi raksasa teknologi. Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock menilai, tindakan itu menunjukkan bahwa raksasa teknologi mengambil keputusan ‘editorial’.

“Ini menimbulkan pertanyaan yang sangat besar tentang bagaimana media sosial seharusnya diatur,” kata dia kepada BBC dikutip dari CNBC Internasional, Senin (11/1). "Mereka dapat memilih siapa yang tidak dan boleh bersuara di platform.”

Komisaris Uni Eropa untuk pasar internal Thierry Breton mengatakan bahwa CEO raksasa teknologi dapat menghentikan ‘pengeras suara’ potus atau President of The United States tanpa adanya check and balances merupakan hal yang membingungkan.

“Ini tidak hanya menegaskan kekuatan platform, tetapi juga menunjukkan kelemahan yang mendalam terkait cara masyarakat kita diatur di ruang digital,” kata Thierry.

Di Inggris dan Eropa, penerbit seperti surat kabar memiliki kebebasan tertentu, tetapi tetap mengikuti Undang-undang (UU) dan kode etik. Oleh karena itu, mereka dapat dibawa ke pengadilan atau dipaksa untuk mengoreksi konten, jika mempublikasikan hal yang diskriminatif atau memfitnah.

Dengan adanya pemblokiran akun Trump, Inggris dan Eropa mempertanyakan regulasi yang tepat bagi raksasa teknologi seperti Twitter dan Facebook. Mereka menilai, para big tech ini bertindak sebagai penerbit.

"Hukum dan pengadilan Eropa akan terus menetapkan apa yang ilegal, baik offline maupun online, dari pornografi anak, konten teroris, ujaran kebencian, pemalsuan, hasutan, kekerasan hingga pencemaran nama baik, melalui proses demokrasi dan dengan pemeriksaan dan keseimbangan yang sesuai," ujar Thierry.

“Namun saat ini, platform online tidak memiliki kejelasan hukum tentang bagaimana mereka harus memperlakukan konten ilegal di jaringan. Ini membuat masyarakat kita memiliki terlalu banyak pertanyaan tentang kapan konten harus atau tidak boleh diblokir,” kata dia.

Kanselir Jerman Angela Merkel pun menilai, pemblokiran akun media sosial Trump bermasalah. “Operator platform media sosial memikul tanggung jawab besar atas komunikasi politik yang tidak diracuni oleh kebencian, kebohongan, dan hasutan untuk melakukan kekerasan,” kata juru bicara Merkel, Steffen Seibert, dikutip dari Euronews, Selasa (12/1).

Ia menyampaikan, upaya perusahaan mencegah penyebaran unggahan kekerasan di media sosial merupakan hal yang benar. "Apa yang kami lihat pada Rabu (kerusuhan di gedung Capitol) hanyalah puncak dari perkembangan yang sangat mengkhawatirkan, yang terjadi secara global dalam beberapa tahun terakhir. Ini harus menjadi seruan untuk semua pendukung demokrasi,” katanya dalam unggahan di blog resmi, akhir pekan lalu (10/1).

"Untuk melawan delusi dan serangan terhadap nilai-nilai demokrasi, dan untuk mengatasi perpecahan dalam masyarakat kita. Tidak hanya di AS. Di seluruh dunia, ada para pemimpin politik, dalam oposisi dan juga semakin berkuasa, siap untuk merusak institusi demokrasi,” ujar dia.

Akan tetapi, Seibert mengatakan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak fundamental dari signifikansi dasar. "Hak ini dapat diintervensi, tetapi menurut hukum dan dalam kerangka yang ditentukan oleh legislator, tidak berdasarkan keputusan manajemen platform media sosial," kata dia kepada wartawan di Berlin.

Oleh karena itu, Kanselir Jerman menganggap bahwa pemblokiran akun media sosial Trump bermasalah.

Regulasi Konten Media Sosial di Indonesia

Terlepas dari kerusuhan di gedung Capitol dan pemblokiran akun media sosial Trump, masyarakat Indonesia pun menyoroti kebebasan berekspresi di dunia digital. Pada akhir tahun lalu misalnya, beberapa warganet mengeluhkan cuitan mereka yang ditandai oleh Twitter.

“Untuk kepentingan transparansi, kami memberitahukan Anda bahwa Twitter telah menerima permintaan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) perihal akun Anda, yang mengklaim bahwa konten berikut melanggar hukum di Indonesia,” demikian kata Twitter yang diunggah oleh Adiansyah Yasin Sulaeman melalui akun @adriansyahyasin, akhir bulan lalu (28/12/2020).

Ia tidak memerinci cuitan terkait apa yang ditandai oleh Twitter. “Ini berkenaan dengan aksi Oktober kemarin adalah tweet yang di-flag oleh Kominfo,” kata dia.

Pengguna lain @kafiradikalis mendapatkan email serupa. Salah satu cuitan yang dilabeli berbunyi, “di luar aksi massa buruh 2013 dan 212, saya bisa memastikan ini adalah aksi massa terbesar. Bukan hanya berlangsung di ibu kota, tetapi di daerah pun luar biasa perlawanannya.” Tweet ini diunggah pada Oktober 2020.

Katadata.co.id mengonfirmasi hal tersebut kepada Menteri Kominfo Johnny Plate dan Staf Khusus Menteri Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi pada Desember lalu. Namun, belum ada tanggapan hingga berita ini dirilis.

Tidak ada standardisasi terkait konten apa saja yang bisa ditandai maupun diblokir. Namun, perusahaan media sosial memiliki kebijakan masing-masing seputar unggahan yang bisa ditampilkan.

Akan tetapi, pemerintah bisa mengajukan permintaan kepada media sosial untuk menghapus atau menangguhkan konten maupun akun yang memuat hoaks, pornografi, kekerasan, dan lainnya. Konten ilegal ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Sinta Dewi Rosadi mengatakan, konten yang beredar di media sosial menjangkau banyak orang. Oleh karena itu, perusahaan seperti Facebook dan Twitter harus berperan dalam membatasi akses unggahan yang melanggar ketentuan, termasuk kekerasan.

“Akan berbahaya bagi masyarakat yang belum memiliki literasi digital tinggi (jika membaca konten ilegal atau melanggar). Justru saya sepakat dengan langkah Twitter dan Facebook (memblokir akun Trump),” kata Sinta kepada Katadata.co.id, Rabu (13/1).

Berdasarkan survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kominfo, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masuk kategori sedang, yakni 3,47 dari 5. Tingkat yang tertinggi yakni di bagian tengah, seperti Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.

Menurut wilayah, indeks literasi digital masyarakat Indonesia bagian tengah yang tertinggi yakni 3,57. Sedangkan barat 3,43 dan timur 3,44. Sedangkan hal-hal yang memengaruhi indeks sebagaimana Bagan di bawah ini:

Korelasi indeks literasi digital (Katadata Insight Center dan Kominfo)

Sedangkan masyarakat Indonesia mayoritas menjadikan WhatsApp sebagai sumber informasi. Angkanya tertera pada Databoks di bawah ini:

Oleh karena itu, menurutnya fungsi media sosial harus dibedakan dengan penerbit seperti surat kabar. “Penyaringan konten ini dibutuhkan, terutama yang membahayakan,” kata Sinta.

Apalagi, berdasarkan data Statista, jumlah pengguna Facebook lebih dari 2,7 miliar per kuartal II 2020. Angka per negara pada 2017 dapat dilihat pada Databoks di bawah ini:

Sedangkan Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi sepakat bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook berpengaruh signifikan terhadap kehidupan sosial. Platform ini juga dapat menjadi mesin propaganda dan memobilisasi massa, sehingga memang perlu dikaji dampaknya terhadap masyarakat.

Namun, ia tidak dapat berkomentar terkait tepat atau tidaknya perusahaan media sosial memblokir akun Trump terkait kerusuhan di gedung Capitol, pekan lalu. “Dari konteks hak, sah saja yang dilakukan oleh pemilik platform. Tetapi, terhadap dampak yang bisa ditimbulkan itu berjalan dalam proses kehidupan sosial di AS,” kata dia kepada Katadata.co.id.

Sedangkan di Indonesia, platform media sosial seperti CakraTalk atau ChatAja belum digunakan secara masif. Selain itu, badan usaha Twitter hingga Facebook bukan di Tanah Air.

Oleh karena itu, menurutnya yang bisa dilakukan pemerintah yakni mengimbau masyarakat untuk bijak menggunakan media sosial. “Sambil tetap memonitor dan mengevaluasi penggunaan platform,” kata dia.

Reporter: Desy Setyowati