- DPR menargetkan finalisasi rancangan undang-undang energi baru terbarukan dapat selesai di Oktober 2021.
- Nuklir dikabarkan akan tetap masuk dalam undang-undang itu meskipun mendapat penolakan berbagai pihak.
- Target pemerintah ambisius, tapi realisasi pemanfaatan energi terbarukan masih minim.
Pembahasan rancangan undang-undang energi baru terbarukan atau EBT masih berjalan di DPR. Progresnya minim. Sejak mulai diskusi pada September lalu, belum ada tanda-tanda akan segera disahkan.
Padahal, penyusunan rancangan aturan itu sudah terjadi sejak 2018. Naskah akademiknya pun telah tersusun pada tahun yang sama.
Untuk tahun ini, RUU EBT telah masuk dalam daftar prioritas program legislasi nasional atau Prolegnas 2021. Harapannya, pengesahan menjadi lebih cepat.
Anggota Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan masih banyak poin-poin yang perlu perbaikan. Pihaknya terbuka untuk mendengar semua masukan dari berbagai kalangan. "Tentu itu semua akan kami diskusikan di dalam Panitia Kerja RUU EBTKE," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (26/1).
DPR masih menggodok agar pembahasan draf tersebut dapat segera rampung tahun ini. Untuk diskusinya, saat ini telah masuk pembahasan naskah akademik dan meminta masukan dari berbagai pihak. "Insya Allah tahun ini kami selesaikan," ujarnya.
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan akan melakukan rapat dengar pendapat bersama tim keahlian dewan. Rapat tersebut antara lain membahas mengenai penyampaian draf yang disusun pada September 2020.
Usai rapat selesai, maka akan muncul draf yang terbaru. "Setelah itu, kami putar ke seluruh kelompok kepentingan luas untuk merespon dan menanggapi mempertajam dan memperdalam," ujar dia dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2021 pagi tadi.
Dia menargetkan RUU EBT dapat difinalisasikan pada Oktober tahun ini. Hal ini mengingat masih ada Revisi Undang-Undang Migas yang menanti untuk segera dibahas.
Namun, pembahasan ini tidak semata-mata tergantung DPR tapi bergantung pula pada pemerintah. “Mudah-mudahan bulan Oktober tahun ini selesai," kata Sugeng.
Usulan METI Dalam RUU EBT
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma optimistis pembahasan RUU EBT akan rampung setelah masuk dalam Prolegnas 2021. Masukan dari METI untuk membentuk Badan Pengelola Energi Terbarukan alias BPET, harapannya dapat menjadi pertimbangan anggota dewan.
Rancangan aturan itu sebaiknya fokus pada energi terbarukan saja. “Energi baru agar dibahas di undang-undang lain, termasuk nuklir,” katanya.
Masuknya energi nuklir pada RUU EBT sempat menjadi perdebatan. Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon menyebut sejumlah alasan mengapa memasukkan energi itu tidak tepat.
Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cincin Api yang aktif sehingga rawan gempa dan tsunami. Sedangkan kasus kebocoran radioaktif PLTN Fukushima di Jepang merupakan dampak setelah gempa bumi dan tsunami pada 2011.
Kemudian penyimpanan limbah pembangkit listrik itu juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Kondisinya sangat sulit untuk Indonesia. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, dampaknya sangat berbahaya.
Kedua, masuknya nuklir dalam rancangan undang-undang EBT merupakan langkah kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Apalagi, pasokan uranium negara ini hanya dapat mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas seribu megawatt selama enam hingga tujuh tahun saja.
Apabila bersikeras menjadikan nuklir sebagai energi baru, Wira memprediksi Indonesia akan bergantung pada impor uranium dari luar negeri. Alih-alih memakai bahan bakar berisiko, lebih baik pemerintah memanfaatkan energi terbarukan, seperti surya, air, angin, biomassa, dan panas bumi.
Namun, produsen pembangkit listrik nuklir berpendapat berbeda. Kepala Perwakilan ThorCon International Bob S. Effendi mengatakan naskah akademis menjadi dasar pemikiran RUU EBT.
Dalam naskah akademis tersebut, seperti terlihat dalam situs berkas.dpr.go.id, menyebut nuklir sebagai sumber energi baru. Artinya, energinya dihasilkan dari teknologi. Selain nuklir, ada pula hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara cair (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Sementara, energi terbarukan merupakan bahan bakar yang bersumber dari energi berkelanjutan. Contohnya, panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaaan suhu lapisan laut.
Bob lebih menyoroti isu lainnya yang dibahas dalam RUU EBT. Salah satunya, pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN diberikan kepada badan usaha milik negara atau BUMN Khusus.
Regulasi ini, menurut dia, bakal melanggar undang-undang ketenaganukliran dan tidak pro-investasi pada swasta. “Investasi nuklir harus dibuka juga kepada swasta, seperti tercantum dalam draf Juli 2020,” ujarnya.
Draf RUU EBT versi September terlalu banyak mengatur aspek ketenaganukliran. Harapannya, aturan ini akan kembali seperti susunan awal. “Yang saya dengar, nuklir akan tetap masuk RUU EBT dan PLTN terbuka bagi swasta dan BUMN,” ucapnya.
Indonesia Dinilai Belum Siap Transisi Energi
Peningkatan bauran energi dari fosil ke EBT bukan lagi perkara penting dan tidak penting. Tantangan global saat ini adalah menghadapi dan mencegah perubahan iklim. Indonesia berkontribusi untuk mewujudkannya sesuai Perjanjian Paris 2015.
Dalam perjanjian itu, hampir 200 negara sepakat membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius. Artinya, emisi gas rumah kaca (GRK) alias karbon dioksida harus turun 45% pada 2030 dibandingkan 2010. Lalu, beberapa negara, termasuk Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, sudah menargetkan bebas karbon pada 2050.
Indonesia, yang juga menandatangani Perjanjian Paris, telah meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Target nasional pengurangan emisi karbon negara ini atau nationally determined contribution (NDC) adalah 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional di 2030.
Periset Data dan Informasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan laporan Climate Action Tracker menunjukkan sistem ketenagalistrikan energi terbarukan perlu ditingkatkan. Saat ini angkanya baru sekitar 14% dan perlu meningkat menjadi 50% hingga 85% di 2030 agar sesuai dengan komitmen Paris.
Di sisi lain, listrik yang bersumber dari batu bara harus turun dari sekitar 60% menjadi 5% sampai 10% di 2030. Karena itu, menurut dia, perlu kebijakan yang ambisius dalam mengurangi ketergantungan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara. "Kita perlu melakukan moratorium pembangunan PLTU baru," kata dia.
Energi fosil saat ini masih mendominasi suplai listrik domestik, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini. Sektor industri dan transportasi menjadi konsumen terbesar.
Permintaannya menurun sejak munculnya pandemi Covid-19 pada tahun lalu. Konsumsi minyak. Indonesia mengalami penurunan permintaan hingga 16,8% pada kuartal tiga 2020 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, untuk batu bara produksinya tetap melebih target. Permintaan ekspor dan domestiknya masih besar. Pemerintah juga mendorong agar konsumsi batu bara naik. PLTU masih tetap akan dibangun. Berdasarkan rencana umum penyediaan tenaga listrik atau RUPTL 2019-2028, PLTU yang akan dibangun hingga akhir periode itu mencapai 57 gigawatt (GW).
Lalu, ada pula kebijakan hilirisasi batu bara. Pemerintah berdalih produk program itu, yaitu dimethyl ether (DME), dapat menggantikan elpiji yang selama ini mayoritas harus impor. Insentif telah pemerintah siapkan bagi produsen batu bara yang mau melakukan hilirisasi tersebut. “Padahal, investasinya berisiko dan sangat mahal. Insentif dapat menjadi beban di masa depan,” ujar Deon.
Periset Teknologi dan Material Fotovoltaik IESR Daniel Kurniawan menyebut kapasitas pembangkit energi terbarukan pada tahun lalu hanya bertambah 187,5 megawatt. Jumlah ini terendah dalam lima tahun terakhir.
Untuk bauran energi pembangkit mengalami peningkatan hampir menyentuh 15% di paruh pertama 2020. Namun, batu bara masih mendominasi sektor ini.