Kisah Desa Karangtengah, Desa Mandiri Energi yang Menolak Listrik PLN

Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu
Sebuah desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menjadi desa mandiri energi yang terang benderang tanpa pasokan listrik dari PLN. Sebaliknya, masuknya PLN ditolak oleh warga desa.
8/7/2022, 11.41 WIB

Air dari Telaga Pucung mengalir deras melewati Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Aliran yang melewati sungai kecil dengan kontur menurun di Dusun Kalipondok dan Dusun Telaga Pucung menambah riuh bunyi derai air.

Desa yang terletak di lereng Gunung Slamet itu berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Di sepanjang jalan berkelok menuju desa tersebut, terhampar pepohonan pinus dan lahan perkebunan sayur.

Sepintas tidak ada yang istimewa dengan desa ini. Namun, nyatanya desa ini adalah desa mandiri energi yang hidup tanpa sambungan listrik dari PLN. Sebanyak 75 keluarga yang mendiami desa ini mendapatkan listrik dengan memanfaatkan energi baru terbarukan (EBT) mikrohidro dari aliran sungai kecil yang melaluinya.

Ya, desa ini terang benderang dengan memanfaatkan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) tanpa pernah tersambung dengan jaringan listrik PLN. "Dulu itu gelap gulita. Lalu tahun 2012 dipasang PLTMH," kata Kepala Desa Karangtengah, Karyoto, kepada Katadata.co.id, Rabu pekan lalu (29/6).

Karyoto bercerita bahwa pada tahun 2012 pihaknya menerima bantuan dari Komando Distrik Militer (Kodim) Banyumas dan PT Indonesia Power untuk pembangunan PLTMH. Lima tahun berselang, PLTMH tersebut disempurnakan oleh Dinas ESDM Jateng dengan kekuatan 15 kilowatt (Kw).

"Berjalannya waktu kurang lebih lima tahun itu kurang maksimal. Hingga akhirnya muncul bantuan dari Dinas ESDM Jateng. Saat ini listrik nyala 24 jam, nyala stabil. Saat ini dua dusun itu telah swasembada listrik," ujar Karyoto.

Ia pun menjelaskan cara kerja PLTMH di desanya. Pertama-tama arus akan melewati pintu air yang berfungsi sebagai penyaring dari daun dan ranting pohon yang terbawa arus. Saringan itu terletak di bagian atas sungai, terbuat dari besi warna biru.

Penyaring air yang mengalir dari Telaga Pucung-Desa Karangtengah. (Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu)

Selanjutnya, arus air akan diarahakan menuju turbin melalui pipa besi berdiameter sekitar 40 centimeter (cm). Pipa itu memiliki panjang 200 meter, terhitung dari lokasi pintu air menuju turbin yang terletak di dalam sebuah bangunan.

Arus air yang datang dari ketinggian itu kemudian menabrak turbin sehingga menciptakan gerakan sentripetral yang memicu dorongan kepada generator. Proses tersebut menimbulkan suara bising yang terdengar hingga radius 30 meter.

Usai menggerakkan turbin, air yang arusnya sudah tak terlalu deras akan ditampung di sebuah bak untuk diarahkan kembali ke sungai. Listrik yang dihasilkan dari proses tersebut selajutnya disalurkan melalui jaringan kabel ke 75 rumah yang ada di Dusun Telaga Pucung dan Dusun Kalipondok.

PLTMH Desa Karangtengah, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu)
Turbin PLTMH Desa Karangtengah (Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu)

Adapun tarif listrik yang dibebankan kepada warga hanya Rp 500 per kilowatt jam (kWh). Karyoto mengatakan, tiap bulan warga akan ditarik iuran dengan nominal yang berbeda. Tergantung dari jumlah pemakaian dan besaran instalasi listrik yang mereka pasang di rumahnya.

"Rata-rata, warga membayar iuran dari Rp 30.000-70.000 per bulan. Satu bulan kurang lebih iuran bisa Rp 2 juta, tergantung pemakaian. Sampai hari ini di buku kas pengurus ada sisa bersih Rp 20 juta lebih. Dari iuran itu, kami gunakan untuk persiapan perbaikan perawatan dan honor pengurus," papar Karyoto.

Sementara itu, Ketua pengurus PLTHM Desa Karangtengah, Karwin Zaenal mengatakan bahwa generator menyala nonstop 24 jam sehari. Namun tiap dua pekan sekali, listrik akan dipadamkan selama 5 jam untuk perawatan generator.

Pemadaman dimulai sejak pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Sebagai pengurus PLTHM, tiap lima hari pertama di awal bulan, Zaenal dibantu dengan sekretaris mengunjungi rumah-rumah warga untuk menarik iuran wajib.

Zaenal kemudian menunjukkan rumahnya yang berjarak 100 meter dari pos pembangkit. Daya listrik terpasang di rumah Zaenal sebesar 450 volt ampere (VA) untuk menyalakan televisi, kulkas, penanak nasi dan lampu. "Yang paling banyak makan setrum itu penanak nasi," ujarnya.

Pria berusia 34 tahun itu menunjukkan sejumlah barang elektronik yang tersambung dengan listrik hasil PLTMH. Saat itu, hanya dua barang eletronik yang menyala, yakni kulkas dan penanak nasi. Dia juga menunjukkan adanya listrik yang tersambung dengan menghidupkan saklar lampu.

"Bulan kemarin saya bayar iuran Rp 30.000. Kalau di sini, tergantung pakainya. Kalau pakai banyak ya iurannya banyak, kalau pakainya sedikit ya iurannya sedikit," ujarnya.

Zaenal yang sehari-hari berprofesi sebagai petani sayuran ini mengaku bisa menghemat pengeluaran rumah tangga dari adanya PLTMH di Dusun Telaga Pucung. Dari hasil menanam sawi hijau, tomat, dan daun bawang, Zaenal biasa meraup Rp 2-7 juta per bulan.

Dia menceritakan, sebelum adanya aliran listik dari PLTHM, warga memperoleh listrik dari energi kinetik yang berasal dari dinamo yang digerakkan oleh kincir air. Alur kerja kincir air tersebut terdiri dari baling-baling kayu yang dikaitkan dengan karet untuk menggerakkan dinamo.

Ayah tiga orang anak itu mengatakan, kincir air itu dibangun dan dirawat secara mandiri tanpa adanya bantuan dari pemerintah.

"Energinya dari aliran sungai. Satu baling-baling untuk satu rumah. Cuma itu gak maksimal, kalau ada banjir terlalu keras, blong. Kadang hilang baling-balingnya dan kalau ada kerusakan kami benahi sendiri-sendiri," kenang Zaenal.

Pria yang lahir di Desa Telaga Pucung ini mengaku tidak pernah mengalami pemadaman listrik berkepanjangan selama menjadi pelanggan listrik PLTHM. Biasanya, aliran listrik akan padam jika ada pewaratan pembangkit dan kondisi sungai saat banjir.

Pipa penyalur arus air ke PLTMH di desa Karangtengah. (Katadata/Muhammad Fajar Riyandanu)

Banjir yang membawa sejumlah material dedaunan dan pepohonan akan tersangkut di besi penyaring sehingga menghambat lajur arus air. "Kalau banjir itu dedaunan dan pepohonan nutup penyaring. Kami langsung sigap ke sana, kami buang (dedaunan) terus nyala lagi," jelasnya.

Dari catatan yang ia pegang, hingga saat ini ada 75 bangunan yang dialiri listrik dari PLTHM, dengan rincian 73 rumah warga yang dikenakan wajib iuran dan dua fasilitas umum bebas iuran berupa Balai RT dan masjid.

Tolak PLN masuk desa

Zaenal mengatakan, para warga sepakat untuk menolak kehadiran listrik PLN di wilayah mereka. Pasalnya, jika listrik PLN mengaliri rumah-rumah warga, dikhawatirkan PLTMH yang selama ini dirawat oleh warga akan terbengkalai.

Saat awal mula pembangunan PLTMH, para warga secara gotong royong selama tujuh bulan untuk membangun pondasi, memasang tiang hingga membangun jaringan induk.

"Alasannya, seumpamanya PLN masuk, PLTMH yang sudah dikelola malah terbengkalai, nanti malah mubazir. Di sini, jika ada kerusakan di PLTMH, kami perbaiki secara maksimal," terang pria gondrong tersebut.

Selain soal kekhawatiran tersebut, penolakan warga juga dilandasi karena adanya ikatan sosial yang terjalin antar warga. Zaenal menjelaskan, jika ada salah satu warga yang mengalami gangguan aliran listrik, warga secara bergotong-royong akan segera membereskan hal tersebut.

Hal ini tak bisa dilakukan jika listrik mereka disuplai oleh PLN yang akan mengirim teknisi apabila terjadi masalah listrik di rumah warga. Adapun kerusakan-kerusakan yang kerap ditemui di rumah warga yakni Miniature Circuit Breaker (MCB) dan kabel jaringan yang meleleh akibat tersambar petir. MCB adalah perangkat yang berfungsi sebagai pemutus arus listrik jika terjadi arus berlebih atau hubungan pendek.

Kerja gotong royong antar warga juga dilakukan saat adanya perbaikan rutin di turbin dan generator PLTMH. Dari uang hasil iuran saban bulan dilakukan pembaharuan suku cadang berupa fan belt dan kabel jaringan.

"Jika fan belt-nya sudah tipis dan ada jaringan kabel yang putus. Pokoknya uiran dari warga dikembalikan untuk warga sendiri," kata Zaenal.

Menghidupkan Usaha Warga

Selain Zaenal, ada Narto yang juga menjadi pelanggan tetap listrik PLTHM. Selain menjadi bagian dari petugas operator harian PLTHM Desa Telaga Pucung, warga dari Dusun Kalipondok ini merupakan seorang pemilik warung yang juga menyewakan jasa akses internet. Lokasi warungnya terletak di dekat lokasi wisata Telaga Pucung.

Narto menceritakan, warung miliknya mulai berkembang sejak dirinya memperoleh akses listrik dari PLTHM. Selain bisa menghidupi fasilitas pendukung warung seperti freezer, penerangan lampu LED, televisi, dan penanak nasi, Natro juga mendapat peluang untuk membuka jasa layakan akses internet di warungnya.

"Kalau wifi misalkan pas di warung. Ngopi plus wifi, Rp 5000 lah. Dulu istri hanya ikut saya bertani, sekarang aktif kelola warung. Jelas ada peningkatan ekonomi," kata Natro di saat ditemui di Pos PLTHM Dusun Telaga Pucung.

Pria yang saat itu mengenakan baju lurik yang populer dikenakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga itu menambahkan, kehadiran listrik PLTHM juga mempermudah aktivitas rumah tangga, khususnya saat musim sekolah daring yang dijalani oleh dua orang anaknya. "Pelajaran daring itu perlu jaringan wifi dan (smartphone) telepon pintar. Syukur bisa mencukupi," ujarnya

Karena menjalani usaha warung yang membutuhkan banyak suplai listrik, iuran bulanan yang harus dibayarkan oleh Narto lebih besar ketimbang iuran rata-rata warga. Dalam sebulan, Narto wajib membayar iuran senilai Rp 70.000.

Senasib dengan mayoritas warga lainnya, sebelum memperoleh listrik dari PLTHM, Narto juga membangun kincir air sebagai sumber pasokan listrik harian. Saat masih menggunakan kincir air, penerangan di rumahnya masih menggunakan bohlan kuning 2 watt.

Adapun daya listrik yang dihasilkan dari duet kincir air dan dinamo miliknya hanya 60 watt. "Sekarang sudah pakai LED. Daya listrik juga mencukupi," ujar Narto.

Di lokasi yang sama, Kepala Dinas ESDM Jateng, Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan bahwa Pemprov Jateng sedang memasifkan pemanfaatan energi terbarukan di masyarakat pedesaan. Dia menambahkan, upaya ini merupakan salah satu langkah untuk menekan emisi karbon di Jateng.

Guna mendongkrak penggunaan energi terbarukan di wilayahnya, pihak Dinas ESDM Jeteng mengusulkan anggaran senilai Rp 11 miliar untuk pengembangan energi baru dan terbarukan pada usulan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023.

"Kok kecil ya? Tapi kalau dilihat dari APBD kami yang total membangun itu sekira Rp 65 miliar, itu cukup besar," ujar Sujarwanto.

Lebih lanjut, kata Sujarwanto, Pemerintah Provinsi Jateng terus mendorong upaya pertumbuhan pemanfaatan energi terbarukan dengan cara mendongkrak invetasi di sejumlah potensi energi terbarukan seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Kedung Ombo, Waduk Gadjah Mungkur dan Waduk Wadaslintang.

Selain itu, pihak Pemrov Jateng juga mendorong investasi ke sektor pengembangan energi angin di Brebes dan energi ombak laut di perairan selatan Kebumen dan Purworejo.

"Kami sudah tawarkan data potensinya ke swasta dan mereka sudah tertarik. Ini agenda kami untuk mempercepat trasnisi energi dan menekan emsisi gas karbon dioksida sesuai peta jalan di Rencana Umum Energi Daerah (RUED)," tukas Sujarwanto.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu