Pertamina dan Chevron Umumkan Kerja Sama Bisnis di Sektor Panas Bumi

Pertamina
Pertamina dan Chevron menjalin kerja sama dalam pengembangan bisnis rendah karbon di Indonesia melalui pengembangan potensi panas bumi, carbon offset, CCUS, dan green hydrogen.
13/5/2022, 08.36 WIB

Pertamina dan Chevron, melalui anak usahanya, Chevron New Ventures Pte., menjalin kerja sama untuk menjajaki potensi peluang bisnis rendah karbon di Indonesia.

Keduanya berencana untuk menjajaki teknologi panas bumi baru, penyeimbangan karbon (carbon offset) melalui solusi berbasis alam, teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS), serta produksi, penyimpanan, dan transportasi hidrogen hijau rendah karbon.

Executive Vice President Business Development Chevron Jay Pryor dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) di Washington DC pada Kamis (12/5) yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, serta Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.

Kerja sama antara Chevron dan Pertamina ini merupakan bagian dari upaya kedua perusahaan untuk mendukung target net zero emission Pemerintah Indonesia pada tahun 2060. Adapun Pertamina berkomitmen meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada tahun 2019 menjadi 17,7 persen di tahun 2030.

Direktur Utama, Pertamina Nicke Widyawati, menyebut kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri.

“Pertamina, sebagai BUMN energi terbesar di Indonesia, terus berkomitmen untuk mempercepat transisi energi sesuai dengan target pemerintah,” kata Nicke dalam keterangan resmi yang dikutip pada Jumat (13/5).

Selain itu, Pertamina juga melakukan diversifikasi pengembangan panas bumi, salah satunya yang tengah berjalan sebagai proyek percontohan adalah pengembangan green hydrogen di Area Ulubelu Lampung dengan target produksi 100 kg per hari, dan pengembangan brines to power di Area Lahendong Sulawesi Utara, serta memiliki potensi kapasitas hingga 200 MW dari beberapa area kerja lainnya.

Adapun brines to power merupakan pengolahan air asin panas atau air garam panas bumi yang dipompa ke permukaan dan diubah menjadi gas yang memutar turbin untuk menghasilkan listrik dari panas di dalam bumi.

Selain produksi listrik, air asin panas bumi ini dapat menghasilkan litium, yang dibawa dalam larutan air asin dari ribuan kaki di bawah tanah.

Saat ini, melalui Subholding Power & NRE, Pertamina memiliki total kapasitas terpasang Geothermal mencapai 1.877 MW yang berasal dari 13 area kerja Geothermal. Di mana 672 MW berasal dari area kerja yang dioperasikan sendiri dan 1.205 merupakan kontrak operasi bersama atau joint operation contract.

Area kerja yang dioperasikan sendiri dengan total kapasitas 672 MW tersebut mencakup Area Sibayak di Sumatera Utara berkapasitas 12 MW; Area Lumut Balai, Sumatera Selatan 55 MW; Area Ulubelu, Lampung 220 MW; Area Kamojang, Jawa Barat 235 MW; Area Karaha, Jawa Barat 30 MW, dan Area Lahendong, Sulawesi Utara 120 MW.

Nicke menambahkan, Pertamina juga tengah mengembangkan penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization, and Storage (CCUS) sebagai salah satu strategi perseroan mengurangi emisi karbon di dua lapangan migas, yakni Gundih di Jawa Tengah dan Sukowati di Jawa Timur.

"Pertamina juga sedang mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di wilayah Sumatera," sambung Nicke.

Presiden Chevron New Energies, Jeff Gustavson, mengatakan MoU ini menunjukkan komitmen Chevron dan Pertamina untuk terus mengidentifikasi peluang rendah karbon melalui kolaborasi dan kemitraan antara Chevron, perusahaan energi nasional, dan pemerintah.

"Melalui potensi kerja kami di Indonesia, dan seluruh kawasan Asia Pasifik, kami berharap dapat menyediakan energi yang terjangkau, andal, dan selalu bersih, serta membantu industri dan konsumen yang menggunakan produk kami untuk mencapai tujuan rendah karbon mereka,” kata Gustavson.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia pun sudah memiliki peta jalan transisi energi yang tertuang dalam Grand Strategy Energi Nasional. Dalam peta jalan tersebut, penggunaan energi terbarukan ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025. Pemerintah menyadari pentingnya pendekatan yang bersifat kolaboratif untuk mencapai tujuan rendah karbon.

“Upaya untuk meningkatkan proyek energi rendah karbon tidak bisa dilakukan sendiri. Kami harap perusahaan minyak dan gas kelas dunia, seperti Pertamina dan Chevron, dapat bermitra untuk memangkas emisi karbon dan mendorong transisi energi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pemerintah Indonesia,” kata Luhut.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu