Mengenal Proses Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nz
Ilustrasi, dua terdakwa konsultan pajak PT Gunung Madu Plantations (GMP) Aulia Imran Maghribi (kanan) dan Ryan Ahmad Ronas (kiri), menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (24/5/2022). JPU KPK mendakwa Aulia Imran dan Ryan Ahmad atas perkara suap kepada dua mantan pejabat Ditjen Pajak Angin Prayitno Aji dan Dadan Ramdani senilai Rp 15 miliar terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016 dan 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Penulis: Agung Jatmiko
30/5/2022, 07.00 WIB

Dalam ranah perpajakan, tak hanya sanksi administratif saja yang bisa dikenakan pada wajib pajak yang melakukan pelanggaran, melainkan sanksi pidana juga dapat dikenakan.

Sanksi pidana diterapkan jika terindikasi adanya tindak pelanggaran meski ada unsur ketidaksengajaan, ataupun tindak kejahatan yang sengaja dilakukan dalam pembayaran pajak. Selain itu, sanksi pidana diberikan apabila pelanggaran atau kesalahan berat yang dilakukan dapat menimbulkan kerugian bagi negara.

Dasar Hukum dan Subjek Penyidikan Perpajakan

Mengutip online-pajak.com, dasar hukum penyelesaian tindak pidana perpajakan adalah Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan perubahannya, terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Selain itu, tindak pidana perpajakan juga mencakup ketentuan yang dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUP), dan peraturan perundang-undangan lainnya. Cakupan ini harus sesuai dengan asas-asas hukum pidana dan asas penegakan hukum pidana.

Alasannya adalah, karena sifat UU tindak pidana khusus bidang perpajakan, dan kekhususan perbuatan pidananya, di mana aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Atas dasar itulah, penggunaan tindak pidana umum dalam KUHP ditujukan kepada tindak pidana yang tidak termasuk dalam ranah tindak pidana di bidang perpajakan.

Sementara, subjek yang dapat dikenakan ancaman pidana bidang perpajakan, antara lain:

  • Wajib pajak
  • Petugas pajak
  • Pihak ketiga terkait yang dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah terjadinya tindakan pidana perpajakan, sebagai pembuat persiapan, mempermudah, atau memperlancar, menyembunyikan atau mempertahankan hasil tindak pidana perpajakan.

Tujuan Penyidikan Pajak

Mengutip pajakku.com, penyidikan pidana bidang perpajakan merupakan upaya terakhir yang dilakukan otoritas pajak. Tujuannya, untuk memastikan penegakan hukum di bidang perpajakan.

Penyidikan merupakan opsi terakhir dalam penegakan aturan perpajakan. Sebab, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang melakukan kesalahan perpajakan, untuk memperbaiki, membetulkan, dan mengungkapkan ketidakbenarannya tersebut terkait pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).

Apabila wajib pajak tidak menggunakan kesempatannya dalam melakukan perbaikan, maka otoritas pajak akan melakukan proses penegakan hukum, berupa pemeriksaan atau penyidikan.

Penegakan hukum dibidang perpajakan ini harus dilakukan dengan tujuan:

  1. Agar aktivitas penerimaan pajak dapat berjalan dengan baik dan lancar.
  2. Memulihkan kerugian atas pendapatan negara.
  3. Memberikan efek jera kepada pelaku penyelewengan pajak dan efek gentar kepada calon pelaku penyelewenang pajak.
  4. Memberikan keadilan dan kepastian hukum dengan menjunjung tinggi nilai integritas.

Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Sebelum diketahui adanya suatu tindak pidana perpajakan, perlu dilakukan pemeriksaan pajak. Ini dilakukan, untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data, dan tujuan lainnya dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Berdasarkan Pasal 43 UU HPP, alur mengenai pemeriksaan perpajakan ini dimulai dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pemeriksaan bukti permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan DJP yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan.

Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas DJP, Menteri Keuangan dapat menugaskan unit pemeriksa internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai DJP yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum tindak pidana korupsi.

UU HPP juga menegaskan, bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS tertentu di lingkungan DJP, yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Hal ini diatur dalam Pasal 44 Ayat (1) UU HPP.

Ruang lingkup pemeriksaannya sendiri meliputi pemeriksaan lapangan akan satu atau seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di tempat wajib pajak.

Wewenang Penyidik Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Seperti telah disebutkan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah PPNS tertentu dalam lingkungan DJP. Sebelumnya, tenaga ahli yang ditunjuk oleh DJP, yang diberi wewenang dan tanggung jawab, merupakan bagian dari pihak yang berwenang melakukan penyidikan.

Namun, UU HPP mengubah pasal yang berkaitan dengan pihak yang berwenang tersebut, sehingga yang bisa melakukan penyidikan hanya PPNS di lingkungan DJP. Berdasarkan, Pasal 44 Ayat (2) UU HPP, petugas penyidik ini memiliki sejumlah kewenangan, antara lain:

  1. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
  2. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  4. Memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  5. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut.
  6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
  7. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa.
  8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
  9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
  10. Melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan UU yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat.
  11. Menghentikan penyidikan.
  12. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

Dalam menjalankan penyidikan tindak pidana perpajakan, PPNS harus memberitahukan dimulainya penyidikan. Kemudian, menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum, melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Perpajakan

Sama dengan perkara hukum lainnya, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga dapat dihentikan. Meski, proses penyidikan masih berlangsung.

Ada beberapa alasan yang membuat penyidikan akhirnya dihentikan oleh PPNS, antara lain:

  • Wajib pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. Pengungkapan ketidakbenaran tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasinya.
  • Tidak terdapat cukup bukti.
  • Dalam proses penyidikan, diketahui bahwa peristiwa/perbuatan yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana perpajakan.
  • Demi hukum.

Selain itu, pertimbangan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan juga dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 44B Ayat (1) UU HPP.

Aturan tersebut, menyebutkan bahwa untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejak tanggal surat permintaan.

Namun, upaya penghentian penyidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 44B Ayat (1) UU HPP dapat dilakukan apabila telah memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut.

1. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang disebabkan karena kealpaan dalam mengisi SPT, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar satu kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

2. Wajib pajak atau tersangka melunasi kerugian pada pendapatan negara yang tertuang dalam Pasal 39 UU KUP, ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar tiga kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.

Sebagai informasi, Pasal 39 UU KUP menyebutkan bahwa ancaman pidana dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu dari beberapa pelanggaran sebagai berikut:

  • Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  • Tidak menyampaikan SPT.
  • Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
  • Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar.
  • Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lainnya.
  • Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

Jika salah satu atau beberapa pelanggaran ini dilakukan, dan menimbulkan kerugian pada negara, maka wajib pajak dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya tiga tahun dan/atau denda setinggi-tingginya sebesar empat kali jumlah pajak yang terhutang yang kurang atau yang tidak dibayar.

3. Wajib pajak atau tersangka melunasi jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A UU KUP. Pelunasan ini ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Seperti diketahui, Pasal 39A UU Nomor 28 tahun 2007 menyebutkan, bahwa sanksi pidana dapat dijatuhkan pada wajib pajak yang melakukan salah satu pelanggaran sebagai berikut:

  • Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
  • Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Jika wajib pajak melakukan salah satu dari pelanggaran yang telah disebutkan dalam Pasal 39 UU KUP, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun.

Selain itu, wajib pajak juga dihadapkan dengan sanksi denda. Jumlahnya, minimal dua kali, dan maksimal enam kali, dari jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.