Wacana dedolarisasi kembali meningkat setelah beberapa waktu terakhir, kelompok negara BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan berupaya mengurangi penggunaan dolar AS dalam bertransaksi di antar negara. Sebagaimana diketahui, saat ini sebagian besar negara di dunia melakukan transaksi perdagangan dan investasi menggunakan mata uang dolar AS.
Maraknya transaksi di banyak negara menggunakan dolar AS, membuat dominasi greenback kian besar, sehingga memiliki pengaruh bagi ekonomi dunia. Kondisi tersebut tak melulu menguntungkan bagi negara non-dolar AS. Alhasil langkah dedolarisasi atau mengurangi penggunaan dolar AS menjadi pilihan, termasuk oleh negara-negara ASEAN, melalui kerja sama local currency transaction (LCT).
Berdasarkan laporan media Rusia, anggota parlemen Rusia, Alexander Babakov mengatakan BRICS tengah menciptakan media baru untuk pembayaran. Itu menjadi strategi untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar AS atau euro.
Indiatimes juga menulis bahwa mata uang baru kemungkinan akan diamankan dengan komoditas lain, seperti emas dan logam tanah jarang (LTJ). Perkembangan upaya menciptakan mata uang baru ini kabarnya akan dipresentasikan pada KTT BRICS di Afrika Selatan pada Agustus 2023.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, belum mendengar gagasan konkret terkait rencana penerbitan mata uang baru negara-negara BRICS. Namun, ia mendengar bahwa negara-negara BRICS berencana mendiversifikasi mata uangnya.
Sebelumnya, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva mengatakan bahwa, pembentukan Bank Pembangunan Baru oleh BRICS menunjukkan negara-negara berkembang dapat bersama-sama menciptakan perubahan sosial dan ekonomi yang besar, bahkan membebaskan diri dari sistem perbankan tradisional.
Dalam kunjungannya ke Cina, Lula menghadiri pelantikan mantan Presiden Brasil Dilma Rousseff sebagai kepala bank multilateral yang didirikan oleh negara BRICS. Bank yang berkantor pusat di Shanghai, memiliki potensi besar karena membebaskan negara-negara berkembang dari lembaga keuangan tradisional yang ingin mengatur. Dengan begitu, negara-negara berkembang tidak terlalu bergantung pada dolar dan membiayai perdagangan dalam mata uang lokal.
“Dia mengatakan kebutuhan keuangan negara-negara berkembang sangat besar, tetapi kurangnya reformasi membatasi kredit dari bank-bank yang ada. Bank BRICS bisa menjadi bank besar di Selatan Global,” kata Lula dalam pidatonya dilansir dari Reuters, Kamis (13/4).
China mengambil alih Amerika Serikat sebagai mitra dagang utama Brasil pada 2009 dan merupakan pasar utama untuk kedelai, bijih besi, dan minyak Brasil. Kini, Brasil menjadi penerima investasi Cina terbesar di Amerika Latin, didorong oleh pengeluaran untuk jalur transmisi listrik bertegangan tinggi dan produksi minyak.
“Kami membutuhkan mata uang yang membuat negara lebih tenang, karena saat ini suatu negara perlu mengejar dolar untuk dapat mengekspor, padahal bisa mengekspor dengan mata uangnya sendiri,” katanya.
Terkait hal tersebut Katadata.co.id mencoba merangkum beberapa kinerja dan kemungkinan bagi mata uang negara BRICS untuk menggantikan dolar AS sebagai upaya dedolarisasi.
Melansir Asian Bonds Online, sepanjang 2023 nilai tukar mata uang Cina, yuan (CNY) mengalami penguatan 0,35% terhadap dolar AS (USD) per Kamis (20/4). Menariknya, mata uang Indonesia (IDR) mengalami penguatan lebih tinggi yakni 4,11% terhadap USD pada periode yang sama.
Sementara itu, mengutip laman Xe.com, mata uang Brasil (BRL) tercatat mengalami penguatan sekitar 4,6% sepanjang 2023, terhadap USD. Adapun untuk pasangan mata uang USD-RUB (Rusia rubel) mencatatkan pelemahan 11,9% di mana, tren pergerakan sepanjang 2023 greenback masih lebih perkasa dari rubel.
Direktur PT Laba Forexindo berjangka, Ibrahim Assuaib mengatakan upaya dedolarisasi yang dilakukan BRIC dan beberapa negara ASEAN berpotensi menggoyang nilai tukar mata uang dolar AS.
"Kalau (dedolarisasi) ini terjadi, maka dolar AS akan ditinggalkan, dan kemungkinan besar akan terealisasi," kata Ibrahim saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (18/4).
Meskipun begitu, Ibrahim meyakini dolar AS tidak akan sepenuhnya ditinggalkan. Hal itu terjadi karena besar revolusi industri dan perdagangan Amerika Serikat di seluruh dunia, sehingga pemanfaatan greenback sebagai alat transaksi masih akan bertahan.