Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang kian meruncing membuat perusahaan asal Negeri Panda yang melantai di Wall Street mulai melirik bursa saham Hong Kong. Setidaknya sudah ada tiga perusahaan teknologi asal Tiongkok di Wall Street yang 'pulang' dan melakukan pencatatan saham sekunder di bursa saham Hong Kong.
Dua perusahaan Tiongkok yang sahamnya mulai diperdagangkan di bursa saham Hong Kong bulan ini yaitu perusahaan raksasa gim NetEase Inc. yang memiliki kapitalisasi pasar senilai US$ 6,94 miliar, serta perusahaan e-commerce JD.com yang memiliki kapitalisasi pasar senilai US$ 90,17 miliar.
Sebelumnya pada November 2019, raksasa e-commerce Negeri Panda, Alibaba Group Holding Ltd., telah melakukan listing sekunder di bursa Hong Kong. Di New York Stock Exchange (NYSE) AS, Alibaba merupakan salah satu perusahaan Tiongkok dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di AS, yakni US$ 590,37 miliar.
“Netease baru saja listing minggu lalu, dan kami memiliki JD.com. Saya sedikit terkejut dengan IPO ini, apalagi dengan semua tantangan yang ada di sini. Mereka semua pulang, dan banyak yang ingin memiliki saham mereka,” kata pejabat eksekutif bursa dan kliring Hong Kong, Charles Li, seperti dikutip CNBC International, Rabu (17/6).
(Baca: Perusahaan Tiongkok Didepak dari Bursa AS, Ini Efeknya ke Wall Street)
Adapun NetEase berhasil meraup dana segar sebesar HK$ 21,09 miliar atau sekitar US$ 2,7 miliar dari listing sekundernya di Hong Kong. Sementara saham JD.com baru akan mulai diperdagangkan di bursa Hong Kong Kamis (18/6).
Sementara Alibaba ketika listing di bursa Hong Kong November tahun lalu berhasil meraup HK$ 13,4 miliar. Li mengungkapkan bahwa meski baru melantai di Hong Kong beberapa hari, arus transaksi sahamnya berpindah cukup tinggi dari Wall Street.
Analis pun memperkirakan akan semakin banyak perusahaan Tiongkok yang ‘pulang’ ke Hong Kong seiring meningkatnya ketegangan dengan AS. Terbaru, Senat AS telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang dapat melarang perusahaan Tiongkok melantai di bursa saham AS.
Pasalnya salah satu aturan dalam RUU tersebut yaitu perusahaan “ tidak dimiliki atau dikendalikan oleh pihak asing”, dan harus bersedia diaudit oleh regulator selama tiga tahun berturut-turut.
(Baca: Wall Street Diramal Makin Anjlok, AS Kebut UU Bantuan Tunai Bagi Warga)
Aturan ini seakan memang ditujukan khusus untuk perusahaan Tiongkok. Pasalnya, selama 10 tahun perusahaan Negeri Panda melantai pasar modal AS, laporan keuangan mereka tidak pernah diaudit oleh regulator seperti yang harus dialami perusahaan lainnya.
Di saat yang sama, Hong Kong telah membuat pasar modalnya menjadi lebih menarik. Bulan lalu, indeks Hang Seng mengumumkan perusahaan yang listing utamanya di bursa luar negeri dapat masuk ke dalam indeks acuannya.
Pejabat jasa keuangan dan perbendaharaan Hong Kong Christopher Hui mengatakan bahwa ada tren baru di pasar modal Hong Kong. “Ada peningkatan jumlah perusahaan new economy yang mendaftar untuk melantai di sini,” ujarnya.
Menurut dia, tren tersebut didorong oleh beberapa faktor seperti regulasi keuangan yang kuat, kedekatan Hong Kong dengan Tiongkok daratan namun di saat yang sama dapat mengakses kolam permodalan yang besar di Hong Kong yang dihuni investor internasional.
(Baca: Wall Street dan Bursa Global yang Terkerek Harapan Atas New Normal)
Selain itu minat perusahaan Tiongkok untuk melantai di AS telah berkurang sejak 2015, menurut laporan analis Citi Research. “Bursa Hong Kong sudah memposisikan diri mereka dengan tepat untuk menangkap perusahaan Tiongkok yang listing di AS,” tulis laporan tersebut.
Tren ini pun diperkirakan akan terus meningkat seiring meningkatnya ketegangan AS-Tiongkok pada sejumlah isu mulai dari asal mula virus corona, hingga ketidaksetujuan AS terhadap UU keamanan nasional Hong Kong yang diajukan pemerintah Tiongkok.