Terjebak di 5%, Target Pertumbuhan Ekonomi Sulit Tercapai

Arief Kamaludin|KATADATA
Pembangunan gedung perkantoran di Jakarta. Ilustrasi pertumbuhan ekonomi.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Sorta Tobing
12/4/2019, 05.00 WIB

Terjebak di angka 5%

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, sejak 2013 pertumbuhan ekonomi domestik tak kunjung lewat dari angka 5%. “Ini seperti new normal kalau tidak ada usaha keras pemerintah,” katanya ketika dihubungi hari ini.

Sebenarnya potensi untuk keluar dari angka itu bisa terjadi pada 2015-2017. Ia menghitung angkanya bisa 6,5%-7%. Namun, pemerintah tak tanggap mengambil kesempatan itu. “Hambatannya di produktivitas dan efisiensi,” kata Fithra.

Perekonomian Indonesia, menurut dia, tidak efisien. Defisit neraca perdagangan 2018 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah, yaitu US$ 8,57 miliar. Dari sisi produktivitas, saat ini sektor industri mengalami deindustrialisasi. Kontribusi sektor ini terhadap PDB pada tahun lalu di bawah 20% . 

Pemerintah, menurut dia, terlalu fokus mengejar infrastruktur. “Tapi pembangunan infrastrukturnya sebatas target akhir, bukan antara,” ujarnya.

Misalnya, membangun jalan tol yang seharusnya untuk transportasi logistik dan turunkan ongkos transportasi. Tapi kenyataannya, jalan itu malah memberi manfaat untuk pengendara mobil pribadi. Pemerintah juga belum fokus mengembangkan infrastruktur berbasis maritim yang lebih efisiensi mengangkut barang dalam volume banyak.

Masalah infrastruktur lainnya, pemerintah jarang melibatkan swasta. Akibatnya, pendanaan dari obligasi pemerintah mengambil porsi 85% di pasar keuangan. Swasta jadi sulit mendapatkan dana segar. Hal ini pula yang membuat industri jadi lesu. “Padahal swasta agen sektor riil,” ujarnya.

(Baca: IMF Perkirakan Defisit Transaksi Berjalan Indonesia 2,7% Tahun Ini)

Dengan semua kondisi tersebut, langkah paling cepat untuk memperbaikinya adalah pemotongan pajak dan penurunan kebutuhan pokok untuk mendorong konsumsi masyarakat.

Pemerintah juga perlu mencari pasar ekspor nontradisional. Di saat AS dan Tiongkok sedang adu kuat, pemerintah bisa melakukan ekspansi ke negara-negara berkembang yang sedang bergeliat, seperti Bangladesh, Ethiopia, dan negara Afrika lainnya.

Potensi lain yang perlu mendapat fokus pemerintah adalah sektor digital. “Pemerintah masih gagap,” katanya. Ia memberi contoh ketika e-commerce mau dipajaki, namun dibatalkan di tengah jalan. Padahal, kalau pemerintah serius, maka harus membuat kebijakan yang membangun pertumbuhan sektor tersebut.

(Baca: Banyak Salah Kaprah, Sri Mulyani Tarik Aturan Pajak untuk E-Commerce)

Tahun depan, ia melihat akan terjadi resesi di AS. Hal ini terlihat dari inversi obligasi pemerintah di sana serta konvergensi utang jangka panjang dan pendeknya yang akan jatuh tempo pada 2019 dan 2020. “Terakhir mereka mengalami indikator serupa pada 1929 ketika depresi besar terjadi,” ujar Fithra.

Indonesia akan mengalami dampak dari kondisi itu, seperti turunnya nilai rupiah dan naiknya harga komoditas. Tapi, menurut dia, hal itu tak seberapa dibandingkan dengan masalah ekonomi dalam negeri. Karena itu, pemerintah harus mulai memperbaiki defisit dan sektor industri.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika