Sri Mulyani menjelaskan, penyerapan anggaran kementeriannya cukup baik selama ini. Di tengah pandemi tahun lalu, penyerapannya bahkan mencapai Rp 62,08 triliun atau 94,66%. "Angka itu meningkat 10,25% dari realisasi pada tahun sebelumnya yang mencapai 85,68% dari alokasi," katanya.
Secara perinci, realisasi itu meliputi belanja pegawai Rp 19,94 triliun atau 94,3% dari pagu Rp21,14 triliun, belanja barang Rp 40,48 triliun atau 94,48% dari pagu Rp 42,48 triliun, dan belanja modal Rp 1,65 triliun atau 96,11% dari pagu Rp 1,72 triliun.
Pemerintah menjanjikan defisit APBN akan turun bertahap mulai dari tahun 2021. Untuk mencapainya, berbagai belanja kementerian/lembaga yang tidak mendesak akan dipangkas.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) pernah mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia setelah pandemi adalah mengembalikan rasio defisit fiskal ke 3% pada tahun 2023. Konsolidasi fiskal di Indonesia diperkirakan berjalan secara gradual dengan defisit fiskal yang menyempit pada 2021 menjadi 5,7% terhadap PDB dan 4,2% PDB pada 2022. "Pemerintah harus komitmen untuk mengembalikan disiplin fiskal, meskipun ketidakpastian akibat pandemi masih sangat tinggi," tulis S&P dalam keterangan resminya, pertengahan bulan April 2021.
Langkah komprehensif pemerintah dalam penanganan Covid-19 dianggap lembaga tersebut mampu meredam dampak sosio-ekonomi yang lebih dalam. S&P memproyeksikan ekonomi Indonesia akan pulih dan tumbuh 4,5% pada tahun 2021 dan 5,4% pada 2022.