Rupiah Dibuka Menguat Rp 14.368/US$ Jelang Rilis Data Neraca Dagang
Nilai tukar rupiah dibuka menguat 13 poin ke level Rp 14.368 per dolar Amerika Serikat (AS) pada pasar spot pagi ini. Penguatan ini terjadi menjelang perilisan data neraca dagang Maret yang diramal kembali surplus.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melanjutkan penguatan ke Rp 14.362 pada Pukul 09.15 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan akhir pekan lalu di Rp 14.381 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya justru melemah terhadap dolar AS pagi ini. Won Korea Selatan terkoreksi 0,26%, dolar Taiwan 0,22%, baht Thailand 0,18%, ringgit Malaysia 0,12%, dolar Singapura 0,09%, yen Jepang 0,08%, dan rupee India 0,06%.
Yuan Cina dan peso Filipina juga kompak melemah 0,03%. Sedangkan dolar Hong Kong terpantau stagnan.
Analis DC Futures Lukman Leong memperkirakan rupiah tertekan sepanjang hari ini. Hal ini karena berlanjutnya sentimen pengetatan moneter yang lebih agresif oleh bank sentral AS, The Fed.
Ia memperkirakan rupiah bergerak di rentang Rp 14.325 - Rp 14.425 per dolar AS.
Ekspektasi kenaikan suku bunga yang semakin tinggi akan memicu pelemahan rupiah lebih lanjut. "Namun, tekanan dapat sedikit mereda menjelang rilis data neraca dagang yang diperkirakan kembali surplus sekitar US$ 3 miliar pada Maret," kata Lukman kepada Katadata.co.id, Senin (18/4).
Konsensus Katadata.co.id dari beberapa ekonom, mayoritas memperkirakan surplus neraca dagang Maret akan lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya. Kinerja ekspor masih cukup tinggi seiring kenaikan harga komoditas terutama minyak sawit mentah atau CPO dan batu bara.
Impor juga diprediksi cukup kuat seiring pemulihan ekonomi, periode musiman ramadan dan lebaran, serta kenaikan harga minyak dunia.
Senada dengan Lukman, analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah tertekan awal pekan ini karena ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS. Rupiah bisa melemah ke arah Rp 14.400, dengan potensi support di kisaran Rp 14.350 per dolar AS.
"Dua pejabat The Fed yang juga anggota FOMC, pada pekan lalu mengisyaratkan kebijakan pengetatan moneter yang lebih agresif karena inflasi di AS yang sudah sangat tinggi," kata Ariston.
Sinyal kebijakan moneter The Fed yang lebih agresif sebetulnya sudah menjadi perhatian utama sejak beberapa pekan terakhir. Bunga acuan kemungkinan naik 50 basis poin (bps) pada pertemuan bulan depan. Selain itu, ada rencana untuk mulai mengurangi kepemilikan aset bank sentral.
Pasar obligasi AS terlihat sudah mengantisipasi hal itu dengan kenaikan imbal hasil (yield) obligasi ke level tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Yield tenor 10 tahun sudah di atas kisaran 2,85%.
Rupiah juga masih dibayangi kekhawatiran kenaikan inflasi akibat perang di Ukraina. "Kenaikan harga barang-barang konsumsi di Indonesia bisa melambatkan pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung," ujar Ariston.
Kenaikan inflasi mulai terlihat bulan lalu 0,66% dari bulan ke bulan (month to month/mtm) dan 2,64% dari tahun ke tahun (year on year/yoy). Indeks harga konsumen (IHK) Maret menunjukkan pembalikan setelah Februari deflasi secara mtm.
Inflasi kemungkinan masih akan meningkat bulan ini seiring perubahan kebijakan seperti kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penyesuaian harga Pertamax. Di samping itu, kenaikan inflasi April merupakan periode musiman menjelang lebaran.