Nilai tukar rupiah dibuka melemah 25 poin ke level Rp 14.505 per dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot pagi ini, Senin (9/5). Rupiah melemah jelang rilis sejumlah data ekonomi domestik, yakni pertumbuhan ekonomi dan inflasi, serta masih kuatnya sentimen kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke arah Rp 14.518 pada pukul 09.16 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan pekan lalu di Rp 14.480 per dolar. Selain rupiah, mayoritas mata uang Asia lainnya melemah terhadap dolar AS pagi ini.
Di antaranya yuan Cina anjlok 0,45%, dolar Singapura dan baht Thailand melemah masing-masing 0,31%, rupee India 0,26%, yen Jepang 0,25%, ringgit Malaysia dan dolar Taiwan kompak melemah 0,23%, peso Filipina 0,19% dan won Korea Selatan 0,15%. Sementara dolar Hong Kong stagnan.
Analis Bank Mandiri Rully A. Wisnubroto memperkirakan rupiah akan bergerakn di rentang Rp 14.475-14.570 per dolar. Pasar menantikan rilis sejumlah data ekonomi domestik hari ini yaitu pertumbuhan ekonomi kuartal I, inflasi April dan angka pengangguran.
"Rilis data ekonomi ini seharusnya memberi sentimen penguatan ke rupiah, namun kalau inflasi saya perkirakan akan kurang baik datanya karena akan ada kenaikan signifikan," kata Rully kepada Katadata.co.id, Senin (9/5).
Bank Mandiri memperkirakan inflasi pada April menyentuh 3,34% secara year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya 2,64%. Sementara, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,95% , tidak mencapai 5% seperti kuartal sebelumnya.
Dari sisi eksternal, volatilitas pada hari ini akan meningkat karena faktor global. Sentimen ini masih berkatian dengan dampak dari kenaikan bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) dan terus menguatnya indeks dolar AS.
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan tertekan ke level Rp 14.550 dengan potensi support di kisaran Rp 14.450 per dolar AS. Senada dengan Rully, pelemahan rupiah pada pembukaan perdagangan pekan ini masih dipengaruhi sentimen pengetatan moneter di Amerika.
"Kebijakan pengetatan moneter Bank Sentral AS ini telah mendorong penguatan dollar AS terhadap nilai tukar lainnya dan penguatan tersebut berpotensi berlanjut," kata Ariston, Senin (9/5)
Seperti yang kita ketahui, Bank Sentral AS telah menaikan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin di pekan lalu. Kenaikan ini lebih tunghi dibandingkan kenaikan pertama pada pertemuan Maret sebesar 25 bps. Pasar memperkirakan suku bunga acuan akan berada di level 2,75%-3% pada akhir tahun.
Selain itu, The Fed dalam pengumuman pekan lalu juga akan meluncurkan program penjualan obligasi untuk menyerap likuiditas dolar AS di pasar di awal Juni. Seperti diketahui, The Fed telah memborong banyak obligasi selama pandemi dan membuat neracanya kini nyaris menyentuh US$ 9 triliun.
Usai pengumuman The Fed tersebut, indeks dolar AS sempat menyentuh kisaran tertinggi dalam 20 tahun di level 104.07 pada perdagangan Jumat pekan lalu.
Tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS juga terus naik yang mengindikasikan ekspektasi pasar masih tinggi terhadap kenaikan suku Bunga acuan AS. Yield tenor 10 tahun masih bertahan di atas kisaran 3,1%.