Penyaluran bantuan sosial (bansos) era pemerintahan Jokowi terus mengalir deras, terutama saat menjelang Pemilu 2024. Kepala Negara ini memberikan beragam program bansos, mulai dari bansos beras, sembako hingga bantuan langsung tunai (BLT).
Tidak cukup sampai situ, Jokowi juga memperpanjang masa penyaluran bansos beras bagi 22 juta keluarga penerima manfaat (KPM) hingga Juni 2024. Namun Jokowi tidak menjamin bansos diperpanjang usai Juni 2024 karena anggaran negara terbatas.
Kebijakan itu seakan mengulang tahun lalu. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menyebut, anggaran bansos tahun lalu hanya diperuntukkan selama enam bulan.
“Jika harus ditambah, maka harus dilakukan di dalam Anggaran Belanja Pendapatan Negara Perubahan (APBNP) setelah bulan Juni 2024,” ujar Ronny kepada Katadata.co.id, Jumat (24/2).
Menurut Ronny, jika memang kondisi mengharuskan bansos dilanjutkan, maka postur anggaran bansos harus diubah atau ditambah dalam APBNP. Itu bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR.
Sementara Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai, kondisi tersebut menunjukkan semakin berkurangnya kemampuan pemerintah untuk memberikan bantuan ke masyarakat, bukan karena semakin membaiknya ekonomi.
Sebab, pemerintah memprioritaskan anggaran pembangunan yang sifatnya fisik seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) termasuk IKN. “Karena fiskal kita terbatas, saya tampaknya melihat bansos menjadi satu [program] yang dihentikan,” ujarnya.
Dampak Bansos Tergantung pada Ekonomi RI
Ronny mengatakan, jika program bansos berlangsung selama enam bulan, maka dampaknya sangat tergantung pada kondisi ekonomi. Jika penyaluran bansos berhasil, maka inflasi inti makin rendah dan inflasi volatile food ikut stabil.
Namun jika bansos belum berhasil, maka akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat kelas bawah, terutama saat program bansos dihentikan.
“Tapi jika tekanan daya beli sudah tidak terlalu berat, maka setelah bulan Juni saat bansos dihentikan, dampaknya tidak akan terlalu negatif,” ujar Ronny.
Untuk melanjutkan program bansos, Ronny meminta pemerintah melihat kondisi ekonomi makro dan fluktuasi harga komoditas pokok terlebih dahulu. Jika tetap diteruskan, maka perlu menggunakan basis data.
“Jika data inflasi mengharuskan adanya bansos, saya yakin pemerintah yang baru juga akan mengambil langkah yang sama dengan hari ini. Tapi jika tidak ada justifikasi, maka bansos tidak diperlukan, dananya bisa dialihkan ke pos belanja yang lebih produktif,” ujarnya.
Anggaran Bansos hingga Juni 2024
Nailul menilai, penyaluran bansos akan memberi efek domino terhadap ekonomi. Terutama untuk daya beli masyarakat yang kini terus tergerus inflasi. “Saya khawatir, tiadanya bansos, membuat konsumsi rumah tangga turun,” ujarnya.
Maka perlu reformulasi bansos pada semester II 2024. “Tidak sepenuhnya [bansos] dicabut, tapi diberikan lebih tepat sasaran. Gunakan data yang lebih valid seperti data registrasi sosial ekonomi (regsosek) BPS,” katanya.
Dalam hal ini, Kementerian Keuangan telah menyiapkan anggaran Rp 17,5 triliun untuk bansos beras, daging ayam, dan telur yang dibagikan untuk periode Januari hingga Juni 2024 mendatang.
Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatarwata menyebut, bantuan ini diberikan kepada 18,8 juta PKH. Jumlah penerima disesuaikan untuk keluarga dengan balita stunting yang akan mendapatkan tambahan bantuan berupa daging ayam dan telur.
“Bansos beras 10 kg yang dibagikan kepada PKH tambahan sampai Juni nanti, dan untuk keluarga yang memiliki balita stunting ditambahkan daging dan telur seperti yang sudah dilakukan menjelang akhir tahun lalu,” ujar Isa dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (22/2).
Tak hanya bansos pangan, pemerintah juga berencana untuk memberikan bantuan BLT Rawan Pangan untuk tiga bulan pertama 2024. Melalui program ini, pemerintah mengalokasikan dana Rp 11,3 triliun.
"BLT sejauh ini sudah diputuskan untuk tiga bulan pertama dan setelah itu dilakukan review lagi,” ujar Isa.