Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akan mengusulkan penurunan tarif pajak kripto jika bertemu dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Hal ini terkait penetapan pajak kripto yang dinilai memberatkan bagi pelaku usaha maupun investor. Maka itu, Bappeti kembali melanjutkan pembahasan evaluasi pajak kripto dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).
Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan, pembahasan secara internal akan dilakukan setelah adanya tanggapan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan terkait evaluasi pajak kripto.
“Ada (pembahasan), kita nanti (membahas) dengan Pak Robby, Ketua Aspakrindo, supaya satu suara. Kemarin juga kan sudah dibicarakan di berita, Ditjen Pajak sudah menanggapi, kemarin mereka siap untuk bicara. Kalau begini kan, mereka sudah (memberikan) lampu hijau, kita juga enak ya masuknya seperti itu,” kata Tirta dikutip dari Antara, Jumat (15/3).
Tirta menilai, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang karena industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Sehingga, industri yang masih baru tersebut, perlu diberi ruang untuk tumbuh.
Usulkan Setengah Nilai Pajak Kripto
Dalam pembahasan dengan Ditjen Pajak nanti, rencananya Bappebti akan mengusulkan setengah nilai pajak dari pajak kripto yang berlaku saat ini.
"Sebelum ditetapkan (pajak kripto) kan, dulu usulan dari kita sebenarnya setengahnya ya, mungkin ada yang pernah mencatat usulan itu, jadi setengahnya. Jadi 0,05% dan 0,055%,” ujar Tirta.
Pemerintah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022.
PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.
PPh untuk penjual aset kripto tercatat sebesar 0,1% dari nilai transaksi, dan PPN yang dikenakan sebesar 0,11% dari nilai transaksi.
Sementara itu, bagi yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajak krpto jauh lebih tinggi yakni dikenakan PPh 0,2% dan PPN sebesar 0,22%.
Berdampak pada Transaksi Kripto di RI
Tirta juga menyampaikan, bahwa pajak yang dikenakan dalam industri kripto di Indonesia akan turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.
Penetapan PPn dan PPh tersebut telah berdampak pada transaksi nasabah karena mereka lebih memilih bertransaksi di luar negeri ketimbang di Indonesia. Sebab, pajak yang dikenakan di luar negeri jauh lebih rendah.
“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” kata Tirta dalam Talk Show tentang Ekosistem Kripto oleh Indodax pada Selasa (27/2).
Untuk itu, bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka diharapkan juga menjadi momentum evaluasi untuk aturan pajak aset kripto.