Rupiah Dekati 16.000 per Dolar AS, Tertekan Sentimen Yuan Cina

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Petugas menunjukkan uang pecahan kecil saat peluncuran Semarak Rupiah Ramadhan dan Berkah Idul Fitri (Serambi) 2024 di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, Senin (17/3/2024).
3/4/2024, 07.22 WIB

Bank Indonesia (BI) mengungkapkan sejumlah faktor yang menyebabkan rupiah melemah mendekati level 16.000 per dolar Amerika Serikat. Ini merupakan pelemahan terendah dalam empat tahun terakhir sejak April 2020 lalu.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto mengatakan, pelemahan rupiah terjadi beberapa hari terakhir. Penguatan dolar AS akibat penurunan ekspetasi The Federal Fund Rate (FFR) dan sentimen pelemahan yuan Cina menjadi faktor utama.

FFR merupakan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed yang berpengaruh terhadap kondisi moneter dan keuangan AS, yang pada gilirannya berdampak pada aspek-aspek kunci ekonomi secara luas termasuk ketenagakerjaan, pertumbuhan dan inflasi.

Selain penguatan dolar tadi, pelemahan rupiah banyak dipengaruhi sentimen terhadap pelemahan yuan Cina. Negeri Tembok Raksasa ini merupakan mitra dagang utama Indonesia.

"Pelaku pasar memandang, ada beberapa mata uang Asia yang sangat terkait dengan yuan Cina, akibat besarnya hubungan dagang. Salah satunya adalah Indonesia," kata Edi kepada Katadata.co.id, Rabu (3/4).

Selain faktor global, kondisi pasar domestik juga pengaruhi pergerakan rupiah. Salah satunya didorong lonjakan inflasi tahunan menjadi 3,05% pada Maret 2024, sebagai efek dari volatile food.

Volatile food merupakan inflasi yang sebagian besar dipengaruhi guncangan dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun internasional.

"Rilis data Indonesia kemarin, di atas ekspetasi. [Inflasi itu] banyak dipengaruhi oleh volatile food, sehingga ikut mendorong pelemahan rupiah," kata Edi.

Menurut Edi, pelemahan rupiah memicu capital outflow atau aliran modal asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN). Sehingga terjadi repatrasi atau penarikan dana dari luar negeri.

Mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia akan terus mendorong kebijakan stabilitasasi rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.

"BI akan terus masuk pasar untuk menjaga agar terdapat keseimbangan supply dan demand valuta asing di market," kata Edi.

Pelemahan Rupiah Bikin Investor Was-was

Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet memperkirakan dampak psikologis dari pelemahan rupiah akan signifikan sehingga kepercayaan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia turun. Kemudian menyebabkan ketidakpastian dan potensi keluarnya arus modal asing dari pasar keuangan Indonesia.

Selain itu, pelemahan rupiah juga dapat meningkatkan risiko investasi obligasi karena investor harus menanggung risiko nilai tukar yang lebih tinggi, yang membuat mereka enggan untuk berinvestasi lagi di surat utang.

“Kedua, pelemahan rupiah dapat mengakibatkan peningkatan yield obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah dan perusahaan,” ujar Yusuf kepada Katadata.co.id, pada Selasa (2/4).

Bahkan pelemahan rupiah dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Salah satunya adalah peningkatan biaya impor karena harga barang impor menjadi lebih mahal, yang berpotensi mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat.

Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan yang memiliki utang luar negeri makin terbebani biaya bunga yang lebih tinggi akibat pelemahan rupiah. Hal ini dapat mengganggu aktivitas bisnis dan pertumbuhan ekonomi.

“Pelemahan rupiah juga berpotensi menurunkan daya saing ekspor Indonesia karena produk-produk ekspor menjadi lebih mahal di pasar global dan mengurangi permintaan dari luar negeri,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid