Pemerintah Diminta Tunda Cukai MBDK, Produsen Sudah Terbebani PPN 12%

Fauza Syahputra|Katadata
Sejumlah minuman berpemanis yang dijual di pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (18/9/2024). Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea Cukai berencana untuk mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025.
21/12/2024, 08.25 WIB

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mendesak pemerintah agar tidak menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun depan.

Hal ini dikarenakan pemerintah akan memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025. Untuk itu, lebih baik pemerintah menunda atau memberlakukan pungutan cukai minuman manis kemasan pada 2026.

Telisa menyoroti nasib produsen minuman manis kemasan jika kebijakan cukai MBDK diberlakukan bersamaan dengan PPN 12% pada awal 2025. 

“Ini kasihan (para produsen), ada sosialisasi satu tahun itu lebih bagus” kata Telisa usai menjadi pembicara untuk Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) dikutip Sabtu (21/12).

Pihaknya telah berdiskusi dengan asosiasi produsen dan mereka mengeluhkan ketidakpastian waktu penerapan cukai tersebut. Hal ini akan akan memengaruhi perencanaan produksi mereka.

Khawatir Biaya Produksi Naik

Para produsen tersebut juga mengkhawatirkan adanya potensi peningkatan biaya produksi yang akan berdampak pada kenaikan harga jual produk mereka karena hal tersebut akan menurunkan minat konsumen untuk membeli dan akhirnya mengurangi jumlah permintaan.

Dengan berkurangnya penjualan, maka target laba dan tingkat pertumbuhan tahunan (compounded annual growth rate/CAGR) perseroan juga sulit untuk dikejar.

“Biasanya, perusahaan harus punya target CAGR yang plus dan meningkat. Mereka takut CAGR-nya declining (menurun), itu yang paling ditakutin,” ucap Telisa.

Ia juga mengkhawatirkan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan juga akan memunculkan banyak produk ilegal sebagai upaya produsen untuk mengurangi biaya produksi.

Meskipun begitu, kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh para produsen untuk berinovasi menciptakan produk-produk yang lebih menyasar segmen-segmen konsumen khusus.

Misalnya, dengan memproduksi minuman dengan harga dan kualitas yang lebih rendah, produk dengan kualitas premium, atau bahkan minuman yang menyasar konsumen dengan tingkat kesadaran yang tinggi terhadap kesehatan.

“Untuk mengompensasi, minuman itu ada beberapa macam, mungkin ada yang low-end, ada yang high-end, di mana yang high-end menyasar konsumen yang sadar kesehatan. Jadi inovasi bisnis bisa dilakukan seperti itu,” kata Telisa.

Reporter: Antara