(Baca: Satgas Waspada Investasi OJK Sudah Blokir 404 Fintech Ilegal)

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko, kehadiran fintech lending ilegal menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap industri ini. "Yang merusak (industri ini) adalah mereka yang ilegal," ujarnya.

Sementara menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira, kehadiran bisnis ilegal lebih berpengaruh terhadap fintech lending yang skala bisnis masih kecil. “Bagi pemain baru menjadi agak sulit berkompetisi karena ada ketidakpercayaan,” ujar dia. “Sementara untuk fintech lending yang sudah punya nama dan pengalaman (meminjamkan dana) trennya masih positif.”

Selain itu, masyarakat yang berinvestasi di fintech lending belum terlalu besar. OJK mencatat, jumlah pemberi pinjaman di fintech lending mencapai 5,6 juta. Sebanyak 182 ribu diantaranya merupakan investor institusional, lalu mayoritas adalah retail atau individu.

Jumlah investor tersebut masih lebih rendah ketimbang rekening tabungan di perbankan yang mencapai 199,3 juta akun. "Padahal imbal hasilnya lebih tinggi dibanding deposito," ujar Project Leader ukmindonesia.id Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Dewi Meisari Haryanti.

Jumlah investor di fintech lending juga masih kalah dibanding di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencapai 509.842 investor. Investor fintech juga masih kalah dibanding investor reksa dana yang mencapai 566.234. (Baca: Pengutang Membeludak, Fintech Pembiayaan Masih Minim Investor)

Beralih ke Fintech Lending

Besarnya pasar fintech lending juga membuka mata pengusaha di sektor lain, masuk ke bisnis ini. Grup Astra misalnya, mendirikan fintech lending bernama PT Astra WeLab Digital Artha (AWDA) pada awal September 2018. "Indonesia jadi pasar yang sangat menarik untuk perusahaan yang memiliki fintech," kata Direktur PT Astra International Suparno Djasmin.

(Baca: Astra Hingga Go-Jek Berebut Rp 1.000 Triliun Pasar Fintech Lending)

AWDA menyediakan pinjaman yang diakses lewat aplikasi mobile bernama Maucash bagi konsumen retail dan korporasi. Ada dua produk yang diluncurkan yakni pinjaman darurat senilai Rp 1 - 3,5 juta untuk tenor 10 hari hingga sebulan, serta pinjaman Rp 2- 8 juta yang diangsur selama dua hingga delapan bulan.

Penyedia layanan on-demand Gojek juga bekerja sama dengan tiga perusahaan fintech lending, yakni Findaya, Dana Citra, dan Aktivaku. “Kami percaya kolaborasi yang kuat antara penyedia jasa keuangan dengan perusahaan teknologi bisa menjangkau lebih luas masyarakat yang belum mengakses layanan perbankan,” kata President Go-Jek Andre Soelistyo.

Pesaingnya, Grab lebih dulu meluncurkan fintech lending bernama Grab Financial Services di Asia pada Maret 2018. Layanan yang diberikan berupa pinjaman mikro dan asuransi kepada mitra pengemudi dan pebisnis yang menggunakan dompet digital GrabPay. Untuk menyediakan layanan ini, Grab menggandeng Credit Saison dari Jepang dan perusahaan asuransi AS, Chubb.

(Baca: Fintech Lending Bakal Makin Gencar Dekati Perbankan dan E-Commerce)

Selain itu, Djarum Group mengakuisisi saham minoritas perusahaan permodalan ventura asal Eropa, Finch Capital pada Cermati. Cermati adalah market agregator yang menyediakan platform daring guna  membantu konsumen memilih produk keuangan, dari mulai kartu kredit, memperoleh kredit kendaraan, kredit pribadi, dan kredit perumahan.

Sementara yang lainnya mulai berkolaborasi dengan fintech lending untuk menggaet pasar yang lebih besar. PT Bank Permata Tbk. misalnya, menggandeng PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dengan skema channeling. Bank Permata bisa menyalurkan kredit tanpa agunan melalui Amartha. PT Bank Mayapada Tbk juga melakukan hal serupa melalui unit usahanya, PT Pohon Dana Indonesia (Pohon Dana).

Halaman: