Narasi Berulang Proyek Lumbung Pangan

123RF.com/france68
Presiden Joko Widodo Presiden menargetkan pada tahun ini lahan food estate yang akan tergarap di Kalimantan Selatan lahan seluas 30 ribu hektare. Lumbung pangan ini dibuat untuk menghadapi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19.
Penulis: Sorta Tobing
13/7/2020, 07.42 WIB

Ambisi Ketahanan Pangan Sejak Orde Baru

Proyek food estate sebenarnya bukan barang baru di negara ini. Konsepnya sudah ada sejak Orde Baru. Presiden Soeharto bahkan mencanangkan Program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare sekitar 25 tahun lalu di lokasi yang sama dengan lumbung pangan Kalimantan Tengah era Jokowi.

Melansir dari situs Mongabay, proyek yang digagas Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Siswono Yudo Husono itu merupakan bagian dari ambisi pemerintah Orde Baru untuk mewujudkan posisi Indonesia sebagai negara swasembada beras. Namun, proyek yang mulai pada 26 Desember 1995 itu berakhir gagal total.

Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar setengah dari 15.594 keluarga transmigran yang ditempatkan di kawasan itu meninggalkan lokasi. Penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan alam serta dampak hidrologi dari proyek tersebut.

(Baca: Jokowi: Petani dan Nelayan Dapat Insentif di Masa Pandemi)

Dalam dua tahun proyek berjalan, 187 kilometer kanal utama terbentuk dan menghubungkan tiga sungai, yaitu Kahayan, Kapuas, dan Barito. Selain itu kanal-kanal lainnya juga dibuat pemerintah untuk mengairi sawah-sawah raksasa.

Saluran tersebut pula yang mengalirkan air keluar dari lahan gambut. Kerusakan besar kemudian terjadi. Kawasan hutan yang asri jadi kering dan habitat satwa liar terancam. Proyek ini berhenti setelah keluar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1999.

Namun, dampak kerusakan masih terasa sampai sekarang. Fluktuasi tingkat air tanah tinggi menyebabkan sering banjir pada musim hujan dan kebakaran hebat saat kemarau.

Lumbung pangan (Katadata)

Sebelum itu, ketika Indonesia sedang menikmati tingginya harga minyak, Soeharto mencanangkan proyek Rice Estate di lahan gambut Sumatera Selatan pada akhir 1960an. Pertamina ditunjuk mendanai proyek senilai US$ 150 juta tersebut. Target penyelesaiannya pada 1979 gagal terwujud karena di tengah jalan Pertamina terbelit utang dan mengalami krisis keuangan.

Pada 2009, saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proyek food estate muncul lagi. Namanya adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate. Di area 1,2 juta hektare tersebut pemerintah berencana membuat pertanian kelapa sawit dan tanaman pangan lainnya.

Ketika itu investor besar yang disebut tertarik menggarapnya adalah Medco Group, Artha Graha, dan Wilmar International. MIFEE dibuat untuk mengintegrasikan produk pertanian dan energi, mengikuti kisah sukses pertanian skala besar di Brasil.

(Baca: Bappenas: Teknologi Rekayasa Cuaca Bisa Jadi Solusi Ketahanan Pangan)

Lagi-lagi, proyek tersebut terbukti sulit terealisasi. Proyek miliaran dolar Amerika Serikat itu mengancam kawasan konservasi hutan perawan, daerah resapan air, serta habitat masyarakat adat di Papua. Lembaga dan organisasi hak asasi manusia menentang keras MIFEE. Sampai sekarang tidak terang benar bagaimana nasibnya.

Lalu, di pemerintahan pertama Jokowi pun ada program cetak sawah seluas satu juta hektare di bawah koordinasi Kementerian Pertanian. Target dan pelaksanaannya tersendat, serta tak memberikan dampak bagi ketahanan pangan dalam negeri. Impor beras masih terjadi hingga sekarang.

Program cetak sawah lalu berlanjut di periode kedua pemerintahan Jokowi. Pada Mei lalu, Presiden meminta badan usaha milik negara (BUMN) mencetak sawah baru di Kalimantan Tengah. Kementerian Pertanian tengah mempersiapkan kerja sama pembukaan lahan pertanian atau cetak sawah seluas 600 ribu hektare yang akan digarap bersama perusahaan pelat merah.

(Baca: Mentan: Lahan Rawa, Solusi Ketahanan Pangan di Masa Depan)

Guru Besar Madya Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor Bayu Krisnamurthi berpendapat krisis pangan yang dikhawatirkan pemerintah perlu diperjelas, apakah krisis padi saja atau pangan dalam arti luas, termasuk kualitas gizi.  Kalau hanya beras, tanah gambut dan alluvial bisa ditanam padi. Tapi perlu diperhatikan produktivitas dan biaya produksinya.

“Berbagai riset menunjukkan produktivitasnya lebih rendah dan biaya per kilogramnya lebih mahal,” kata mantan Wakil Menteri Perdagangan itu ketika dihubungi Katadata.co.id.

Target 30 ribu hektare, menurut dia, sangat besar dan terkait dengan bentang alam yang diubah menjadi sawah. Hitungannya, dengan produktivitas empat ton per hektare dan panen dua kali setahun, maka produksinya sekitar 240 ribu ton per tahun. “Bandingkan dengan kebutuhan RI sekitar 2,5 juta ton per bulan. Jadi, yang dihasilkan hanya sekitar 10% dari kebutuhan nasional per bulan,” ujarnya.

Ilustrasi. Program cetak sawah. (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra)

Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap pengembangan lahan pangan di Kalimantan Tengah tidak hanya digunakan untuk penanaman padi. "Lumbung pangan yang dibuat untuk memperkuat ketahanan pangan harus memiliki diversifikasi. Jangan hanya bergantung pada satu komoditas saja," kata Peneliti Indef Rusli Abdullah.

Diversifikasi komoditas pangan tergolong krusial, sebab ketergantungan pada beras dapat mengerek inflasi secara cepat. Meski, memang tidak mudah mengubah pola konsumsi, di mana sebanyak 94% masyarakat mengkonsumsi karbohidrat yang berasal dari beras.

Selain itu, ia juga berharap pemerintah mempertimbangkan proses distribusi pangan dari Kalimantan ke pulau lainnya, terutama ke Jawa yang memiliki jumlah penduduk besar. Pemerintah harus mencari cara agar biaya distribusi, tidak mendorong kenaikan harga pangan yang berasal dari Kalimantan Tengah.

(Baca: Jokowi Terus Kebut Program Cetak Sawah di Lahan Gambut Kalimantan )

Laporan The Economist Intelligence Unit menyebut ketahanan pangan Indonesia masih di bawah Singapura, Thailand, dan Vietnam. Posisi Singapura tidak bergeser sejak 2018, padahal negara itu tidak memiliki lahan luas, apalagi sawah.

Data Global Food Security Index (GFSCI) menyebut Indonesia berada di peringkat 62, kalah dari Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Jika dilihat dari skornya, negara ini masih lemah dalam hal akses infrastruktur pertanian dan irigasi. Hal ini yang menyebabkan terus-menerus terjadi masalah ketersediaan dan harga pangan.

Program ambisus tak serta-merta membuat ketahanan pangan terwujud. Pemerintah juga perlu memperhatikan inovasi teknologi, kondisi infrastruktur dan lahan serta diversifikasi pangan. Eksekusi dan perencanaan matang perlu dilakukan agar tak terus menjadi proyek mandek atau mangkrak di tengah jalan.

Halaman:
Reporter: Antara, Rizky Alika