Akrobat Sri Mulyani Menghimpun Pajak Demi Tekan Defisit APBN dan Utang

Alexander Ishchenko/123rf
Ilustrasi. Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.626 triliun hingga Rp 1.720 triliun pada 2023. Reformasi perpajakan menjadi jalan mencapai target tersebut.
Penulis: Agustiyanti
8/6/2021, 07.00 WIB
  • Penerimaan perpajakan menjadi salah satu upaya menekan defisit anggaran kembali di bawah 3% pada 2023. 
  • Rasio pajak saat ini terendah dalam satu dekade terakhir. 
  • Target penerimaan negara yang tinggi pada 2023 hanya dapat dicapai melalui reformasi perpajakan. 

Penerimaan pajak menjadi salah satu kunci mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3% pada 2023 sesuai janji pemerintah. Pada tahun tersebut, penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp 1.626 triliun hingga Rp 1.720 triliun. Harapan untuk mengerek penerimaan bertumpu pada reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan yang akan dijalankan Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai tahun depan.

Reformasi ini akan dikukuhkan melalui Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan yang segera dibahas pemerintah bersama dengan DPR. RUU KUP merupakan inisiatif pemerintah dan telah masuk dalam program legislasi nasional 2021. Presiden Joko Widodo juga telah menyurati DPR agar segera dilakukan pembahasan terhadap rancangan undang-undang tersebut.

Berdasarkan bahan paparan Kementerian Keuangan di DPR pada akhir bulan lalu, reformasi perpajakan akan mencakup empat poin utama, yakni perluasan basis pajak, keadilan dan kesetaraan, peningkatan kepatuhan wajib pajak, dan penguatan administrasi perpajakan.

Perluasan basis pajak akan mencakup pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multi tarif, penunjukkan pihak lain untuk memungut pajak penghasilan (PPh), PPN, dan pajak transaksi elektronik (PTE), hingga pengenaan pajak karbon atau environment. Upaya mendorong keadilan dan kesetaraan akan diterapkan melalui penerapan alternative minimum tax dan perubahan tarif atau bracket PPh orang pribadi dengan menambah lapisan kelompok masyarakat berpendapatan tinggi.

Dalam draf RUU KUP yang diperoleh Katadata.co.id, tarif PPN akan naik dari saat ini 10% menjadi 12%. Namun, tarif pajak tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif akan diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan APBN.

Di sisi lain, sejumlah kategori barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN dihapus dalam RUU tersebut. Kategori barang yang dihapus, antara lain kelompok barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak dan barang hasil pertambangan.

Pemerintah belum mengkonfirmasi isi draf RUU tersebut. Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo pada pekan lalu menjelaskan, pemerintah berencana menerapkan skema multi tarif pada PPN. Melalui skema ini, tarif PPN barang-barang publik yang dibutuhkan masyarakat luas berpotensi turun menjadi 5% hingga 7%, sedangkan tarif PPN barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak  tetapi dikonsumsi kelompok atas akan naik.

Peluasan basis pajak juga akan dilakukan pemerintah dengan memberlakukan pajak karbon minimal Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau yang setara. Bahana Sekuritas dalam risetnya memperkirakan penerimaan negara dari pajak karbon dapat mencapai Rp 29 triliun hingga Rp 57 triliun pada tahun pertama implementasinya. Penerimaan tersebut akan terealiasi jika pemerintah menerapkan pajak carbon US$ 5 hingga US$ 7 atau setara Rp 71 ribu hingga Rp 143 ribu per ton dengan asumsi kurs Rp 14.295 per dolar AS.

Meski dapat mengerek penerimaan negara, pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca, bagian dari komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global. adan Energi Internasional (IEA) menargetkan emisi karbon dioksida (CO2) di dunia hilang sepenuhnya pada 2050. 

Poin kedua dari reformasi perpajakan adalah mendorong keadilan dan kesetaraan. Ini antara lain akan dilakukan melalui penerapan pajak minimum bagi korporasi dan perubahan tarif wajib PPh orang pribadi untuk kelompok super kaya. Sri Mulyani menjelaskan, RUU KUP akan mengubah golongan tarif Pajak Penghasilan orang pribadi untuk kelompok pendapatan tinggi. Namun, perubahan hanya terbatas pada tarif pajak untuk orang pribadi kelompok pendapatan di atas Rp 5 miliar dari 30% menjadi 35%.

"Kelompok masyarakat ini jumlahnya sangat sedikit sekali. Kami tidak akan mengubah golongan tarif pajak untuk kelompok pendapatan mayoritas," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (24/5).

Dalam UU yang berlaku saat ini, terdapat empat lapisan atau golongan tarif PPh Orang Pribadi. Golongan tarif paling tinggi adalah kelompok masyarakat berpendapatan di atas Rp 500 juta dengan tarif 30%. Melalui revisi RUU KUP, nantinya akan ada terdapat lima golongan tarif dengan tertinggi sebesar 35% untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar.

Sementara pajak minimum badan dalam draf RUU KUP diusulkan sebesar 1% dari penghasilan bruto. Perusahaan akan dikenakan pajak minimum jika memiliki PPh terutang lebih kecil dari pajak minimum.

Tax Amnesty Jilid II

Pemerintah juga berencana mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak. Hal ini dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada WP untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban yang belum terpenuhi secara sukarela. Program ini dikenal sebagai amnesti pajak atau tax amnesty jilid kedua.

Kementerian Keuangan telah mengungkapkan dalam bahan paparan di DPR, akan ada dua skema yang diterapkan pada program ini. Pertama, pembayaran PPh dengan tarif lebih tinggi dari tarif tertinggi pengampunan pajak atas pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya diungkapkan dalam pengampunan pajak 2016-207. Kedua, pembayaran PPH dengan tarif normal atas pengungkapan harta belum dilaporkan dalam SPT tahunan OP tahun pajak 2019. Kedua skema ini tanpa pengenaan sanksi dan diberikan tarif yang lebih rendah jika harta diinvestasikan dalam surat berharga negara.

Berdasarkan draf RUU KUP, tarif yang akan dikenakan untuk pengungkapan harta sebelum amnesti pajak pertama sebesar 15% atau 12,5% jika wajib pajak menyatakan akan menginvestasikan harta bersih ke instrumen surat berharga negara. Sementara untuk pengungkapan harta yang diperoleh tahun 2016 hingga 2019, dikenakan tarif 30% atau 20% jika wajib pajak orang pribadi menginvestasikan hartanya ke instrumen surat berharga.

Belum ada konfirmasi resmi terkait besaran tarif amnesti pajak jilid kedua ini dari pemerintah. Namun, Yustinus pada pekan lalu mengatakan program peningkatan kepatuhan pajak ini berbeda dengan amnesti pajak pada 2016. "Amnesti pajak pada prinsipnya memang tidak boleh diberikan terlalu sering. Kami ingin fokus pada bagaimana peningkatan kepatuhan sukarela dilakukan, bukan memberikan amnesti seperti 2016," ujar Yustius dalam Webinar Ekonomi Pulih Menuju Kebangkitan Nasional akhir pekan lalu.

Tarif yang akan dikenakan pemerintah dalam amnesti pajak jilid kedua ini lebih tinggi dibandingkan yang pertama. Tarif amnesti pajak 2016-2017 dapat dilihat dalam databoks di bawah ini. 

Tarif Tax Amnesty (Katadata)

Pemerintah juga mengusulkan program penguatan administrasi perpajakan, yakni dengan menghentikan penuntutan tindak pidana perpajakan dan menggantikannya dengan pembayaran sanksi administrasi. Penguatan administrasi perpajakan juga dilakukan melalui upaya mendorong kerja sama penagihan pajak dengan negara mitra.

Bersambung ke halaman berikut: Kejar Pajak Demi Tekan Defisit dan Utang

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria