Mendadak Perppu Cipta Kerja, Ada Apa?

123rf
Ilustrasi Perppu Cipta Kerja
Penulis: Ade Rosman
Editor: Sorta Tobing
3/1/2023, 19.39 WIB
  • Pemerintah menyebut pembuatan Perppu Cipta Kerja mendesak karena ancaman krisis global.
  • Langkah pemerintah mengeluarkan Perppu dianggap bertolak belakang dengan keputusan MK tentang UU Cipta Kerja.
  • Poin-poin bermasalah dalam Perppu menjadi sorotan serikat buruh dan pekerja. 

Tahun baru, muncul peraturan baru. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang alias Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Presiden Joko Widodo menerbitkan aturan tersebut dua hari sebelum pergantian tahun. Keberadaan Perppu otomatis menggugurkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang inkonstitusional bersyarat pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. 

Pemerintah beralasan penerbitan Perppu itu bersifat mendesak. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut, perekonomian Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang tinggi tahun ini. 

Ancaman krisis, menurut dia, semakin nyata. Sebanyak 30 negara telah meminta bantuan kepada Dana Moneter Internasional (MF). “Semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim,” katanya dalam konferensi pers, Jumat (30/12).

Alasan lainnya, pemerintah harus mengembalikan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN di bawah 3% pada 2022. “Tentunya dengan keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini diharapkan kepastian hukum bisa terisi,” ucap Airlangga. 

Sebagai informasi, presiden dapat menetapkan Perppu dengan kriteria kegentingan yang memaksa. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat 1 dan aturan turunannya. Namun, belum ada satu pun aturan yang secara eksplisit mengatur kriteria kegentingan tersebut. 

Tak seperti undang-undang, peraturan pemerintah pengganti UU disusun oleh pemerintah sendiri. Namun, penerbitannya tetap harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Airlangga menyebut, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 telah melalui konsultasi dengan Ketua DPR. 

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah memilih mengeluarkan Perppu karena undang-undang yang diperlukan belum ada. 

Kekosongan hukum itu tidak dapat diatasi dengan menghadirkan undang-undang dengan proses biasa. Prosesnya memakan waktu lama, sedangkan keadaannya mendesak. “Pemerintah memandang cukup alasan untuk mengeluarkan Perppu,” kata Mahfud. 

Konferensi pers penerbitan Perppu Cipta Kerja. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/YU)

Kritik Perppu Cipta Kerja

Kritik lantas bermunculan. Anggota komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty PRasetiyani Aher berpendapat, penerbitan Perppu hanya menjadi cara pemerintah menyiasati keputusan MK. Padahal, MK telah meminta UU Cipta Kerja diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun.

MK memutuskan UU Cipta Kerja cacat secara formil. Pasalnya, tata cara pembentukannya tidak berdasarkan proses dan metode yang pasti. Selain itu, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi setelah persetujuan DPR dan pemerintah. 

Pengesahan undang-undang yang kerap disebut Omnibus Law itu dilakukan secara terburu-buru. Seminggu setelah sidang paripurna, draf finalnya diedarkan ke publik. Tebalnya 812 halaman tapi ternyata tidak sama dengan yang dikirim ke Badan Legislatif DPR yang setebal 905 halaman.

Sebelum itu, ada pula versi 1.028 halaman, 1.035 halaman, dan 1.052 halaman yang beredar di publik. Lalu, setelah paripurna berakhir, anggota DPR dari PKS dan Partai Demokrat menerima versi digital atau soft copy Omnibus Law setebal seribu halaman. Substansi draft tersebut ternyata tidak sama dengan versi final 812 halaman. 

Netty merasa sikap pemerintah arogan karena membentuk Perppu tanpa memperbaiki undang-undangnya terlebih dulu. “Eloknya diperbaiki dulu sehingga status UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat dapat berubah,” ucapnya. 

Sikap pemerintah juga ia nilai berbahaya bagi proses demokrasi. Pemerintah terlihat tidak menghormati keputusan MK selaku lembaga yudikatif yang telah meminta perbaikan Omnibus Law. 

Senada dengan PKS, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar menyebut, penerbitan Perppu sulit masuk akal sehat. Tidak ada kegentingan yang memaksa dalam penerbitannya.

Presiden Joko Widodo, menurut Renanda, berhutang penjelasan pada publik terkait Perppu Nomor 2 Tahun 2022. “Perang Rusia-Ukraina menjadi alasan, ini amat sangat mengada-ada. Kenapa tidak memasukkan isu uji coba nuklir Korea Utara atau bencana badai salju di Amerika sekalian sebagai alasan?” ucapnya. 

Langkah pemerintah justru bertolak belakang dengan keputusan MK. Dalam salah satu poin keputusannya, MK menyebut UU Ciptaker cacat formil karena absennya partisipasi publik. 

Putusan pada 25 November 2021 itu juga memerintahkan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. 

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan, Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang seharusnya terbit dengan catatan memenuhi ihwal kegentingan memaksa.

Alasan krisis karena terdampak perang Rusia-Ukraina, salah satu dalih terbitnya Perppu Ciptaker, tidak termasuk dalam syarat tersebut. Bivitri menyebut, Indonesia memang terdampak perang di Eropa itu tapi belum dalam kategori darurat. 

Yang masuk dalam kategori tersebut adalah situasi bencana alam atau perang. “Kalau Perppu tidak keluar tanggal 30 apakah 31 Desember 2022 Indonesia bangkrut? Kan enggak. Pemerintah masih memfasilitasi pesta-pesta tahun baru kok,” kata Bivitri. 

Aksi Partai Buruh. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/foc.)

Poin Bermasalah Perppu Cipta Kerja

Berbeda dengan pernyataan di atas, Presiden Partai Buruh dan Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal menyebut, pihaknya sepakat dengan penerbitan Perppu. Alasannya, pembahasan di DPR justru rentan dipolitisasi karena mendekati tahun politik.

Namun, serikat buruh menolak sejumlah pasal dalam aturan itu yang berpotensi multitafsir dan merugikan para pekerja. “Partai Buruh, KSPI, organisasi serikat buruh, dan serikat petani menolak isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” katanya pada Minggu lalu.

Perubahan yang termuat dalam Perppu justru mundur dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa poin yang disorot pihak buruh adalah soal formula perhitungan upah minimum, tenaga alih daya alias outsource, aturan pemutusan hubungan kerja (PHK), serta pengaturan waktu kerja dan cuti. 

Soal upah minimum, dalam pasal 88D dan 88F tertulis penghitungannya memakai variabel ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Penolakan terjadi pada variabel indeks tertentu yang tidak jelas definisinya dan berpotensi mengubah-ubah formula upah.

Lalu, pasal tenaga alih daya yang diatur pada pasal 81. Tidak ada ketentuan baku bidang apa saja yang boleh menggunakan outsourcing sehingga semua jenis pekerjaan diperbolehkan. 

Bila merujuk UU Ketenagakerjaan, tenaga alih daya hanya untuk lima jenis pekerjaan, yaitu jasa pembersihan, katering, keamanan, jasa minyak dan gas pertambangan, serta transportasi. 

Terkait PHK, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tidak memberi perlindungan pasti pada pekerja yang dipecat sepihak oleh perusahaan. Aturan ini justru memberi ruang subjektivitas perusahaan dalam menilai karyawan bisa di-PHK atau tidak. 

Berbeda dengan undang-undang terdahulu, Perppu terbaru mengubah aturan UU Ketenagakerjaan dengan memberi hak libur dan cuti lebih sedikit. Pada pasal 81 ayat 2, Perppu Ciptaker menyebut istirahat mingguan diberikan satu hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.

Lalu, pada pasal 79 tertulis, jumlah enam hari kerja dan libur sehari dalam sepekan berlaku untuk pekerja yang waktu kerjanya tujuh jam dalam sehari dan 40 jam dalam seminggu. Untuk waktu kerja lima hari dengan libur dua hari dalam sepekan berlaku untuk pekerja yang bekerja delapan jam sehari atau 40 jam dalam seminggu.

Soal cuti, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tidak lagi mengatur kewajiban perusahaan untuk memberikan cuti panjang. Aturan ini hanya mewajibkan perusahaan memberikan cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja bekerja setahun. 

Hal ini berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebut perusahaan wajib memberi istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan. Pelaksanaannya dilakukan pada tahun ketujuh dan kedelapan, masing-masing satu bulan, bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun.