Advertisement
Advertisement
Analisis | Serba Salah Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2021 Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Serba Salah Kenaikan Tarif Cukai Rokok 2021

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Pemerintah berencana menaikkan lagi tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan untuk menambal defisit negara selama pandemi Covid-19. Namun, data menunjukkan kenaikan tarif justru membuat penerimaan CHT melambat selama lima tahun ke belakang. Kinerja industri pun menjadi lebih berat.
Author's Photo
25 September 2020, 15.00
Button AI Summarize

Melihat jenisnya, rokok sigaret kretek tangan (SKT) paling terimbas. Data pemesanan pita cukai DJBC menunjukkan pangsa pasarnya terus menurun selama lima tahun ke belakang. Dari 20,8% pada 2015 menjadi 19,4% pada 2019. Padahal, SKT memiliki kandungan lokal terbanyak dibandingkan jenis lain. Begitu juga tergolong industri padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Tak ayal, serapan tenaga kerja pabrik rokok turut terus menurun. Dari 146.708 orang pada 2016 menjadi 140.354 orang pada 2017. Jika tren ini berlanjut di tengah pandemi Covid-19, maka berpotensi menambah pengangguran baru dan mempersulit pemulihan ekonomi yang kini sudah terancam resesi.

Kenaikan tarif CHT dan HJE berakibat pula pada tingginya rokok ilegal. Data DJBC mencatat peredaran rokok ilegal lebih dari 10% dalam rentang 2014-2016. Pada 2018 dan 2019 angkanya menurun, tapi lebih dipengaruhi implementasi program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT).

Peredaran rokok ilegal juga tercermin dari ketimpangan antara jumlah konsumsi dan produksi rokok. Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 menyatakan, jumlah konsumsi rokok rumah tangga 379,56 miliar batang. Lebih banyak dari produksi rokok tahun itu yang 348,10 miliar batang.

Maraknya konsumsi rokok ilegal bisa berakibat pada penurunan penerimaan negara dari CHT. Target pemerintah menambal defisit selama pandemi Covid-19 pun bisa tak terwujud.  Selain itu, bisa membuat pemerintah lebih susah menekan jumlah perokok berusia di bawah 18 tahun. Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan prevalensi perokok dini dari 9,1% pada 2018 menjadi 8,7% pada 2024.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Willem Petrus Riwu meminta pemerintah tak menaikkan tarif CHT dan HJE tahun depan. Meskipun ia tetap menyadari tarif CHT sebagai bagian aturan main berbisnis di Indonesia dan jalan perusahaan rokok berkontribusi pada negara.

“Kami masih banyak pukulan, belum stabil,” katanya, dalam diskusi daring, 30 Agustus lalu.  

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi