Advertisement
Advertisement
Analisis | Dua Dekade Layanan Kesehatan di RI sebelum Covid-19 Tiba Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Dua Dekade Layanan Kesehatan di RI sebelum Covid-19 Tiba

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Pelayanan kesehatan di Indonesia terus membaik dalam rentang 1996-2016. Meskipun begitu, masih ada kabupaten yang tetap tertinggal. Khususnya di wilayah terpencil seperti Papua.
Author's Photo
28 September 2020, 15.00
Button AI Summarize

Dua daerah yang masih tertinggal pada 2016, adalah Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya yang berada di Provinsi Papua. Rasionya masing-masing 5% dan 8% rumah tangga bersanitasi baik. Begitu juga hanya 21% dan 27% untuk kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan.

Kondisi pada dua wilayah tersebut selaras dengan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Badan Pusat Statistik (BPS) yang juga memasukkan variabel kesehatan. Sampai 2018, IPM Papua dan Papua Barat masih berada di urutan terbuncit dengan skor masing-masing 60,06 dan 63,74.

Padahal, pemerintah terus menambah dana otonomi khusus (Otsus) untuk Papua dan Papua Barat dari tahun ke tahun. Pada 2019, tercatat kedua provinsi tersebut mendapat total Rp 8,4 triliun. Meningkat Rp 0,4 triliun dari tahun sebelumnya.

Belum idealnya layanan kesehatan Indonesia, juga terlihat dari Human Capital Index (HCI) yang 0,54 poin pada 2020. Jauh di bawah Singapura yang 0,88 poin. Posisi negeri ini pun hanya peringkat keenam di Asia Tenggara. Bank Dunia menilai HCI berdasarkan indikator kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat.  

Peraih nobel ekonomi 2019, Esther Duflo bersama rekannya Abhijit V. Banerjee dalam penelitiannya yang berjudul The Economic Lives of The Poor menilai masalah kesehatan berkaitan dengan kondisi perekonomian masyarakat miskin. Termasuk di Indonesia yang masyarakat miskin rentan penyakit lantaran kekurangan makanan bernutrisi. Tercatat 20-50% yang harus terbaring di tempat tidur karena pelbagai penyakit dan harus mendapat perawatan dokter. 

Tak terjangkaunya makanan bernutrisi erat dengan minimnya pendapatan. Untuk tetap menyambung hidup, seperti ditulis Esther dan Banerjee, mayoritas penduduk miskin di dunia membuka usaha atau di sektor informal. Di Indonesia, angkanya berkisar pada 47%-52% pada 2000. 

Masyarakat miskin pun masih harus menambah pekerjaan di sektor lain atau serabutan. Lebih kurang 47% rumah tangga miskin berpendapatan di bawah US$ 2 di wilayah urban Indonesia memiliki lebih dari satu pekerjaan. Kondisi ini patut menjadi sorotan di tengah pandemi Covid-19 yang memberlakukan pembatasan sosial. Mengingat, sumber pendapatan mereka praktis terkunci. 

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Juni 2020 mengonfirmasi kemungkinan tersebut. Sebanyak 70,53% masyarakat berpendapatan Rp 1,8 juta per bulan penghasilannya turun. Sebaliknya, hanya sekitar 30% masyarakat berpendapatan di atas Rp 5 juta per bulan yang pendapatannya turun.  

Oleh karena itu, pemerintah sudah semestinya tak berpuas diri dengan kondisi pelayanan kesehatan saat ini. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang juga telah memukul perekonomian masyarakat dan berpeluang meningkatkan angka kemiskinan. Salah satu cara yang bisa dilakukan, adalah dengan meningkatkan kualitas infrastruktur dan kemudahan akses pelayanan kesehatan. 

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi