Advertisement
Advertisement
Analisis | Kinerja Tahun Pertama DPR Bertabur UU Kontroversial Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Kinerja Tahun Pertama DPR Bertabur UU Kontroversial

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Kinerja legislasi tahun pertama DPR periode 2019-2024 masih stagnan dan menghasilkan tiga UU kontroversial. Hal ini mengindikasikan secara kualitas dan kuantitas masih buruk.
Author's Photo
12 Oktober 2020, 12.20
Button AI Summarize

Selanjutnya, penolakan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Mereka menolak seluruh isi Omnibus Law Ciptaker. Sekjen KPA, Dewi Sartika pada Selasa (6/10) menyatakan, akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Demonstrasi besar pun terjadi pada 8 Oktober 2020 di berbagai daerah untuk menolak Omnibus Law Ciptaker. Namun, Presiden Jokowi dalam pidatonya sehari setelah aksi massa menyatakan akan tetap memepertahankan beleid ini. Ia pun menyebut para demonstran telah tersulut hoaks sehingga salah kaprah dengan isinya. 

DPR juga hampir mengesahkan RUU Haluan Ideologi Pancasila yang merupakan usulan pemerintah. Beleid ini ditolak sejumlah ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Hal ini lantaran beberapa pasal di dalamnya dinilai bertentangan dengan keyakinan umat Islam dan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, pemerintah akhirnya mencabut draf RUU tersebut.

“Penolakan dan gugatan itu menunjukkan hasil kerja legislasi DPR buruk kualitasnya,” kata Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus kepada Katadata.co.id, Rabu (7/10).

Lucius menilai hal itu tak lepas dari proses pembahasan dan penyusunan UU yang buruk, seperti kurang mengakomodasi suara masyarakat. Ia mencontohkan aspirasi kelompok buruh agar pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan di Omnibus Law Cipta Kerja tetap mengacu kepada UU Ketenagakerjaan, tapi pemerintah dan DPR tak mengakomodasinya. Padahal buruh juga terkait langsung dengan beleid itu.

Sehingga, kata Lucius, pertemuan dengan elemen masyarakat yang termasuk dalam proses rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkesan seperti formalitas belaka. Demi menggugurkan kewajiban dan tata tertib penyusunan UU, bukan benar-benar mendengarkan aspirasi mereka.

Lucius juga menyoroti waktu pembahasan yang cenderung dikebut. Misalnya UU MK yang hanya dibahas dalam waktu tujuh hari kerja mulai 24-31 Agustus 2020. Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) juga dilakukan panitia kerja (panja) secara tertutup pada 26-29 Agustus 2020.

“Rancangan-rancangan itu kan masih kontroversial, tapi dikebut. Rupanya pembahasan kilat tidak menunjukkan DPR semakin rajin dan produktif, tapi justru semakin mengabdi pada kepentingan elite,” kata Lucius.

Perlakuan berbeda, kata Lucius, justru terhadap RUU yang benar-benar dibutuhkan dan menjadi aspirasi publik. Ia mencontohkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Sistem Kesehatan Nasional yang justru dikeluarkan dari prolegnas 2020. Padahal keduanya saat ini mendesak disahkan.

“Saya kira kualitas UU yang dihasilkan DPR periode ini memang sangat kontroversial,” kata Lucius.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi