Advertisement
Advertisement
Analisis | Efektifkah Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Obat Kuat Investasi? Halaman 2 - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Efektifkah Omnibus Law Cipta Kerja Jadi Obat Kuat Investasi?

Foto: Joshua Siringo/Katadata
Omnibus Law Cipta Kerja belum sepenuhnya menyentuh seluruh hambatan investasi untuk masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah korupsi yang dianggap investor sebagai kendala utama berusaha di dalam negeri. Ada juga pasal yang kontraproduktif dengan keinginan investor, yakni soal perlindungan lingkungan.
Dwi Hadya Jayani
13 Oktober 2020, 15.00
Button AI Summarize

Beberapa hal tersebut memang menyelesaikan hambatan investasi ke Indonesia dalam Executive Opinion Survey yang dilakukan World Economic Forum pada 2017, antara lain aturan pajak, ketimpangan peraturan, dan peraturan ketenagakerjaan yang ketat. Namun, belum mencakup seluruhnya dan bahkan tak menyentuh hambatan utamanya, yakni korupsi.

Sebaliknya, DPR dan pemerintah justru merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berimplikasi pada pelemahan lembaga anti rasuah. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat kinerja KPK paling rendah dibandingkan penegak hukum lain sepanjang semester I 2020. Hanya menindak enam kasus korupsi.

korupsi penghambat investasi
korupsi penghambat investasi (Katadata)

Ekonom Faisal Basri menilai korupsi yang menggerogoti hasil investasi meskipun realisasinya terus meningkat. Karena, uang hasil korupsi lari ke luar negeri dan digunakan untuk tujuan yang kontraproduktif dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja pun terhambat.  

Faisal melihat indikator atas hal itu pada tingginya skor incremental capital-output ratio (ICOR) di era Jokowi yang mencapai 6,5. Skor ini tertinggi di ASEAN. Menurutnya, itu berarti untuk menghasilkan satu unit output perlu tambahan modal 50% lebih yang adalah investasi.

“Jika Pak Jokowi mau mencapai pertumbuhan 7% sehingga bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja, tak perlu Omnibus Law yang banyak cacatnya,” tulis Faisal dalam situs pribadinya, Jumat (10/9).

 

Pasal-pasal dalam Omnibus Law Ciptaker juga tak menyentuh seluruh indikator indeks Ease of Doing Business (EODB) yang masih buruk, seperti penegakan kontrak dan pendaftaran properti. Sebaliknya justru lebih besar ke indikator memulai bisnis yang skornya sudah baik, meskipun masih di peringkat 140 secara global.

“Aturan ini tidak mengurangi beberapa hambatan seperti inkonsistensi kebijakan pemerintah dan kurangnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Apalagi pengesahan UU tersebut memunculkan kegaduhan” kata Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, melansir Republika.

 

Oleh karena itu, Piter menilai pengesahan Omnibus Law Ciptaker tidak menjamin investasi asing masuk ke Indonesia. Pandangan ini sudah terlihat menemui faktanya setelah 35 investor global yang mewakili dana kelolaan senilai US$ 4,1 triliun menilai beleid tersebut memperburuk iklim investasi di negeri ini. Mengingat, di dalamnya termuat pula deregulasi perlindungan lingkungan.

Analisis JP Morgan pun menyoroti pemangkasan pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari 32 kali menjadi 25 kali (19 ditanggung perusahaan dan 6 ditanggung pemerintah). Hal ini dinilai bisa menambah beban fiskal pemerintah. Di sisi lain, investasi tak akan lekas masuk di tengah ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19. 

Namun, analisis CGS CIMB menilai penanggungan sebagian pesangon oleh pemerintah bisa menciptakan keseimbangan antara pekerja dan pelaku usaha. Sehingga, perusahaan yang merugi tidak terlalu terbebani dan pekerja bisa tetap mendapat haknya. Lembaga ini pun menilai upah minimum yang masih diatur daerah tapi sudah tidak dengan aturan peningkatan ketat bisa melegakan pengusaha. Hal ini karena nantinya bisa disesuaikan dengan produktivitas perusahaan.  

Masih adanya potensi bakal tak tercapainya harapan pemerintah mendongkrak investasi, sudah semestinya pasal-pasal dalam Omnibus Law Ciptaker dibahas ulang.  Perlu juga mempertimbangkan perkara pembangunan sumber daya manusia. Mengingat, indeks modal manusia (IHC) negeri ini masih rendah. Akan percuma investasi datang tapi tak ada tenaga kerja yang kompatibel dengan itu.

Halaman:

Editor: Muhammad Ahsan Ridhoi